Address
Jl. Rawamangun Muka, Pulo Gadung, Jakarta Timur, DKI Jakarta – 13220
Phone

Serangan Fajar dan Suap


Ranti Patmawati | Arutala | Sastra Indonesia (2023)

 

Baru-baru ini Indonesia melaksanakan pemilihan umum atau pemilu yang hanya dilaksanakan 5 tahun sekali. Spanduk-spanduk terpampang di berbagai tempat, seperti tiang listrik, jalan raya, bahkan di pohon-pohon. Dalam rangka pemilu, para pasangan calon (paslon) mengupayakan segala cara untuk menarik hati dan suara rakyat demi meraih kursi jabatan, bahkan tak jarang dari mereka yang terjun langsung ke masyarakat untuk menyampaikan visi dan misi, menjanjikan ini itu, serta meyakinkan masyarakat bahwa mereka pantas untuk dipilih. Seolah-olah masa depan masyarakat ada di tangannya.   

Memberikan sembako menjadi salah satu cara mereka untuk mendapatkan hati masyarakat, terutama di kalangan ibu-ibu. Terlebih lagi saat mendekati hari pencoblosan, mereka bahkan menjanjikan jaminan berupa uang, jika masyarakat mencoblos mereka. Tak jarang beberapa pendukung salah satu paslon juga sering membagikan sembako dengan syarat harus memilih paslon tersebut. Hal tersebut sudah menjadi budaya di Indonesia. Terulang terus-menerus tanpa ada tindakan untuk menghentikannya. Bukan kah itu sudah termasuk suap? Mengapa masih saja dianggap wajar?

Penyuapan atau suap adalah salah satu bentuk tindakan korupsi. Suap yang diberikan bukan hanya berupa uang saja, bisa juga berupa barang. Motif untuk melakukan suap biasanya bervariasi, tetapi yang paling sering terdengar adalah sebagai bentuk terima kasih. Contohnya seperti cerita pada buku 86 (2011) karya Okky Madasari. Novel tersebut bercerita tentang seorang juru ketik di pengadilan. Namanya Arimbi. Setelah 4 tahun bekerja di pengadilan, keluguan dan kepolosannya mulai berubah menjadi ketidakpuasan. Berawal dari mendapatkan ucapan terima kasih berupa AC dari seorang klien, ia pun mulai mewajarkan segala tindakan “membantu” dan memanfaatkan pekerjaannya untuk mendapatkan uang. Dari novel tersebut kita bisa mengetahui bahwa dengan tindakan kecil itu bisa membuat seseorang melakukan tindakan yang besar.

Tindakan-tindakan seperti pada novel tersebut sebenarnya sudah lazim terjadi di Indonesia. Terlebih lagi bagi mereka-mereka yang mempunyai kuasa dan jabatan. Melakukan segala cara untuk mendapatkan tujuan yang mereka mau. Padahal itu semua sudah tercantum dalam banyak pasal. Artinya sudah masuk tindakan hukum dan memiliki hukuman yang sesuai jika melanggarnya. Masih banyak yang bertanya, apakah dengan memberikan sembako atau lembaran uang itu termasuk ke dalam suap? Jumlahnya memang kecil, tetapi bukan berarti korupsi itu hanya untuk jumlah yang besar. Jika kita balik pertanyaannya. Kalau memberi hadiah atau bantuan berupa sembako dan lembaran uang, tetapi memakai uang negara, apakah itu bukan termasuk tindakan korupsi? Terlebih lagi untuk kepentingan perorangan bukan untuk kepentingan negara. Jangan berlindung dalam kata “membantu” yang ternyata punya maksud tertentu.

Dikutip dari situs resmi Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, “serangan fajar” merupakan istilah populer dari politik uang. Berdasarkan Pasal 515 dan Pasal 523 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa bentuk serangan fajar tidak terbatas pada uang. Namun, juga dalam bentuk lain, seperti paket sembako, kupon pulsa, kupon bensin, atau bentuk fasilitas lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di luar ketentuan bahan kampanye yang diperbolehkan sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 dan 6 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2018.

Serangan fajar tidak diperbolehkan karena bisa melanggar prinsip pemilu, yaitu LUBER JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil). Dengan adanya serangan fajar, prinsip pemilu “jujur” sudah dilanggar karena serangan fajar yang bertujuan untuk “membeli suara” sangat bertolak belakang dengan prinsip jujur. Tentu saja, tanpa disadari masyarakat akan terkena dampak atau kerugian dari serangan fajar. Dengan terpilihnya paslon yang menang melalui tindakan“membeli suara”, bisa jadi kerugian selama lima  tahun atau selama masa jabatan paslon tersebut karena janji-janji manis yang mereka berikan belum tentu terpenuhi jika ternyata mereka benar-benar hanya mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri.

Politik uang yang terjadi saat atau menuju pemilu selalu terjadi di Indonesia, banyak faktor yang membuat politik uang tidak bisa dihilangkan. “Kondisi tersebut diperparah dengan sistem hukum Indonesia yang seolah tidak mampu menjerat praktik politik uang. Untuk itu pendidikan pemilih penting dilakukan untuk meng-counter praktik politik uang di Indonesia,” tutur Mada Sukmajati, dosen Ilmu Politik Fisipol Universitas Gadjah Mada.

Dilansir dari situs resmi Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, setidaknya terdapat tiga faktor yang membuat politik uang terus terjadi dan tidak bisa dihilangkan selain faktor ekonomi, yaitu faktor politik karena politik uang terjadi karena calon legislatif hanya ingin menang tidak memiliki program, faktor hukum karena lemahnya regulasi tentang politik uang, dan faktor budaya karena adanya kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia, yakni tidak pantas jika menolak pemberian dan terbiasa membalas pemberian.

Politik uang sering disebut juga sebagai korupsi. Oleh karena itu, politik uang layak untuk segera ditangani dan diberhentikan sebelum menjadi tradisi turun-temurun. Masyarakat berhak untuk mendapatkan edukasi lebih lanjut tentang politik uang, terlebih lagi menjelang pemilu agar tidak memilih atau mencoblos paslon hanya karena diberikan “sesuatu”, bukan karena memang pilihannya.

 

Editor: Faudzia Mutmainah