Dinda Sari | Klandestin | Pendidikan Khusus (2021)
Rasa-rasanya semakin hari semakin banyak sekali manusia yang merasa dirinya menjadi si paling sempurna. Entah dalam konteks bercanda ataupun memang yang disengaja, tadinya kupikir tidak ada yang salah dengan sikap merasa sempurna sebagai wujud apresiasi diri atas semua hal yang sudah dilakukan sejauh ini. Akan tetapi, lama-kelamaan muak juga melihat semakin semena-menanya manusia untuk menjadi si yang paling ingin teratas. Hal ini sering kali terjadi dalam lingkup masyarakat yang di dalamnya berisi orang-orang penuh gengsi.
Dalam kehidupan sehari-hari, tak jarang menjumpai orang-orang yang lancar sekali menuliskan komentar caci maki dalam media sosial atau lebih tepatnya pada postingan yang berisi potongan video orang lain. Manusia-manusia ini merasa apa yang dilihatnya dalam video berdurasi kurang dari 30 detik itu adalah fakta yang memang melampirkan secara gamblang atas kehidupan seseorang, padahal media sosial hanya berisi kurang dari 20% kehidupan seseorang yang dibagikan dengan tujuan validasi diri. Namun, orang-orang dengan gelar maha dari segala maha yang miskin empatinya merasa bahwa apa yang diketik dan dikatakannya adalah kebenaran mutlak dan orang lain harus mengikuti dan mengakuinya.
Lalu jika ditilik dari tragedi di tahun 2019 dan 2020, ketika kehidupan manusia di seluruh dunia mengalami perubahan yang sangat besar akibat dari virus mematikan. Roda kehidupan yang terus berputar memaksa manusia untuk hidup dalam batas jarak yang sudah ditentukan hingga pada akhirnya, teknologi seperti keberadaan gawai sangat diperlukan, termasuk di dalamnya aplikasi media sosial yang semakin sering digunakan. Hal ini yang membuat manusia sekarang, semakin banyak yang menggunakan smartphone yang dalam penggunaannya tidak begitu smart sebagaimana mestinya.
Mengadili orang lain menjadi salah satu hal yang sangat mudah dilakukan dalam media sosial. Sepertinya hal itu memang menjadi keahlian dasar setiap orang, terutama orang-orang yang hidupnya hanya diisi dengan menampik kesenangan orang lain. Dalam suatu penelitian yang telah dilakukan oleh Beryandih pada tahun 2020 dengan artikelnya yang berjudul Media Baru dan Fenomena Hate Speech di Indonesia pada dasarnya mengomentari hidup orang lain memang jauh lebih mudah dibanding harus memahami dan mengerti hidup orang lain dari nol, selain itu komentar negatif yang diberikan oleh seseorang didukung dengan berbagai faktor di antaranya karena permasalahan pribadi, berita bohong atau hanya sekadar iseng saja.
Bisa dibayangkan, hanya karena sekadar iseng saja seseorang bisa dengan bebas memberikan ketikan atau ungkapan jahat untuk orang lain, orang yang bahkan tidak dikenalnya. Miskin empati menjadi pondasi utama masyarakat untuk memberikan komentar jahat di media sosial. Meski memang tindak-tanduk ini didasari pada semakin bebasnya penggunaan media sosial di berbagai kalangan dan kemudahannya dalam membuat akun tanpa ada pengawasan. Hal tersebut yang membuat orang-orang menjadi nihil empati terhadap permasalahan orang lain yang dibagikan di media sosial, merasa dirinya memiliki power dibalik akun anonim untuk menjatuhkan, merendahkan bahkan mempermalukan orang lain.
Hal seperti ini bahkan tidak hanya ada di media sosial saja, tetapi juga diadaptasikan ke dalam film berjudul Budi Pekerti (2023) karya Wregas Bhanuteja sangat menjelaskan tentang fenomena saat ini di saat hanya karena sebuah video saja hidup seseorang apalagi seorang ibu hancur berantakan karena komentar netizen yang merasa maha dari segala maha. Dalam film ini juga sebenarnya sudah memiliki pesan yang sangat gamblang dalam memberikan penjelasan dari dampak bahayanya komentar di dunia maya terhadap kehidupan seseorang.
Salah satu dampak paling mencolok dari ketikan jahat di media sosial adalah kesehatan mental individu. Korban aktivitas ini sering kali mengalami stres, kecemasan, depresi, bahkan mengalami gangguan makan atau gangguan tidur. Pesan-pesan negatif yang terus-menerus diarahkan kepada mereka melalui komentar, pesan langsung, atau bahkan gambar maupun video yang dimodifikasi dengan niat merendahkan dapat merusak harga diri dan kepercayaan diri seseorang. Beban psikologis yang ditimbulkan dapat berdampak jangka panjang pada kesejahteraan mental individu.
Tak hanya itu, aktivitas jahat yang dilakukan di media sosial juga dapat berdampak pada kinerja akademik dan karir seseorang. Korbannya mungkin akan merasa kesulitan berkonsentrasi atau merasa tidak nyaman dalam lingkungan sosial yang pada gilirannya dapat mengganggu prestasi akademik atau produktivitas kerja. Selain itu, jika konten negatif tentang seseorang tersebar luas di media sosial, hal itu dapat memengaruhi reputasi mereka secara profesional, bahkan bisa berujung pada isolasi sosial dan kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Selain itu, dampak yang paling parah, yaitu dapat berujung pada tindakan bunuh diri. Tekanan psikologis yang ditimbulkan oleh pelecehan dan penghinaan daring dapat membuat seseorang merasa putus asa dan kehilangan harapan. Kasus-kasus tragis seperti ini telah terjadi di seluruh dunia, di mana individu yang menjadi korban bullying di media sosial memilih untuk mengakhiri hidup mereka sebagai akibat langsung dari pelecehan yang mereka alami. Ini adalah pengingat yang menyedihkan akan betapa berbahayanya bullying di dunia digital.
Editor: Hanifah Azizah