Hilal Wildan Ainun Nizam | Eunopia | Pendidikan Bahasa Arab 2022
Drap … drap … drap …
Dengan seragam sekolah lengkap, aku berlari dengan lincahnya menyusuri gang-gang sempit di ibu kota. Tanpa berkaca pun aku sudah tahu, ekspresi cemas bercampur letih yang muncul di wajahku menyiratkan sesuatu yang mungkin sudah tak asing lagi bagi orang-orang sekitar. Aku terlambat.
* * *
Kriiiiinnng…..
Para murid berhamburan keluar kelas tak lama setelah bel sekolah berbunyi untuk yang kesekian kalinya, menandakan waktu istirahat telah tiba. Melihat sekeliling, terlihat beberapa murid lain memilih untuk tetap berada di dalam kelas berduaan dengan ponsel ataupun kotak bekal mereka. Rupanya mereka tak jauh berbeda denganku.
“Hei hei! Kira-kira alasan apa lagi yang kau punya atas keterlambatanmu hari ini?” tanya salah seorang anak, ketika aku tengah sibuk menatap ikon waktu pada layar ponselku yang masih terkunci.
[8 Agustus, pukul 09.44]
Kedatangan sahabatku tersebut secara perlahan telah memudarkan keadaan kelas yang cukup tenang hingga beberapa saat yang lalu. Sebagai sikap atas perubahan yang terjadi, aku hanya melontarkan sebuah pernyataan kecil kepadanya.
“Ri, novel yang kemarin kamu pinjamin ke aku itu hilang. Karena itu juga aku terlambat,” jawabku sedikit pelan.
“E–eeeh?! Lagi?!”
“Aku turut berduka cita,” ucapku tenang. Aku tidak tahu bagaimana dengan orang lain, tetapi bagi kami, ini adalah hal yang sudah biasa terjadi. Berdasarkan pengalaman, tidak baik bagi kami untuk mengisi waktu istirahat kami dengan terus mengeluh mengingat jam sekolah yang masih panjang.
“Lalu…?” ucapku mengalihkan pembicaraan. Dengan ucapanku yang seperti itu, tampaknya ia teringat kembali alasan ia mendatangiku.
“Benar juga. Cerpenmu yang kemarin, apa sudah kamu selesaikan?” tanyanya penasaran.
Telah memperkirakan hal semacam itu, aku memalingkan mataku dari layar ponsel yang mulai redup dan menyodorkan beberapa lembar kertas penuh tulisan tangan kepadanya.
“Huh, apa-apaan ini?” ia mendengus kesal dengan lembaran-lembaran kertas yang berada di tangannya kini.
“Jika kau ingin melihatnya, lihat saja, tetapi plagiarisme itu dilarang, kau tahu kan?”
“Tidak mungkin! Tugas mengarang itu… sedikit banyak tidak aku sukai karena itulah aku butuh sedikit referensi. Jadi, sebagai gantinya, kupinjamkan lagi novel ini.” Sebuah buku dengan sampul biru cerah disodorkan kepadaku.
“Selain itu,” lanjutnya mengalihkan perhatianku. “Bolehkah aku mampir ke rumahmu sepulang sekolah?”
“Lagi?”
“Yup, aku turut berduka cita untukmu,” ucapnya sambil tersenyum. Dengan begitu, layar ponsel yang sedari tadi menyala menemani percakapan kami, kini telah menghitam dengan sempurna.
* * *
Dari bingkai kaca di salah satu sisi ruangan, langit senja yang begitu menenangkan terlihat olehku tepat setelah aku menutup novel yang sedari tadi ku pegang. Di sudut lain ruangan, seorang anak memperlihatkan raut wajah yang kurang menyenangkan dengan pensil dan buku tulis di hadapannya. Merasa kesal, ia pun mencoba mengangkat suaranya.
“Huh, bagaimana bisa kau membuat cerpen semudah itu? Terutama tentang jalan ceritanya, seorang anak yang berputar-putar dalam rutinitas kesehariannya. Ide ceritamu terasa sedikit absurd bagiku, aku penasaran dari mana kau mendapatkannya.”
Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menulis, termasuk caranya mendapatkan ide cerita, bahkan bagi diriku selaku orang yang ditanya, aku sendiri pun merasa heran bagaimana bisa seseorang yang pandai berbicara sepertinya, seperti anak di hadapanku, memiliki masalah dalam menulis. Meskipun begitu, bisa mengerti dengan jelas maksud dari cerita yang disampaikan merupakan kelebihan yang tidak semua orang miliki. Sepertinya ia adalah salah satunya. Namun, tetap saja, perkataannya di awal benar-benar membuatku mengernyitkan alis.
“Aku hanya mengambilnya dari cerita lama. Menulis akan lebih mudah jika kau memasukkan sedikit fakta ke dalam ceritamu. Terlebih jika itu tugas sekolah.” Aku tidak pandai berbicara, tetapi dengan persahabatan yang telah kami jalin selama ini, tidak ada yang lebih mengerti maksud dari percakapan kami selain kami sendiri.
“Jadi, pengalaman dan tenggat waktu, ya?” gumam sahabatku itu. “Lalu bagaimana dengan novel yang kupinjamkan?”
“Apa kau berusaha menyindirku?” Tidak perlu dijawab, melihatnya tersenyum meski pertanyaannya berbalas pertanyaan, siapa pun pasti mengerti. Meski belum selesai membacanya, sekarang aku yakin kalau novel yang dipinjamkannya memang memiliki maksud tertentu.
“Novel yang kupinjamkan itu bercerita tentang seorang anak yang selalu mengulangi kesalahannya dan tidak pernah melihat berdasarkan pengalaman. Apa kau merasa déjà vu?”
“Mungkin,” ucapku setengah menyangkal, merasa tersindir. Meskipun, jujur saja, aku benar-benar merasa déjà vu.
Untuk sekarang, abaikan saja perasaan déjà vu yang benar-benar muncul tersebut, bahkan untuk sahabatku, sudah terbiasa baginya memberi perumpamaan sebagai kombinasi sempurna dari seorang yang ceroboh dan pelupa. Aku tahu kalau ia sedang menasehatiku. Aku pun tahu kalau itu bukan hanya sekadar nasihat, melainkan peringatan. Namun, menilik kembali novel yang dipinjamkannya membuatku kembali tersadar. Terus menerus hidup seperti itu, aku merasa seperti ada lubang yang mengganjal dalam kisah kehidupanku.
“Aku akan melanjutkan membacanya nanti”
“Kau yakin? Kau mungkin akan menghilangkan bukuku atau melupakan apa yang telah kau baca sebelum kau melanjutkannya”
“Akan kupastikan itu tidak akan terjadi lagi.” Aku menegaskan. Meskipun aku sendiri tidak yakin, setidaknya aku akan tetap berusaha. “Lagipula kau harus segera pulang. Masih banyak yang harus kulakukan sebelum ibuku pulang.”
“Kalau itu sih…karena ibuku sedang banyak pesanan, besar kemungkinan ibumu akan pulang malam lagi. Aku hanya akan mengganggu jika pulang sekarang.”
“Padahal kau bisa membantu mereka jika kau pulang secepatnya.” Benar. Itu adalah pernyataan yang tidak mungkin bisa ia bantah jika yang ia lakukan semenjak pulang sekolah hanyalah meratapi kertas kosong di hadapannya. Meskipun itu cukup untuk membuatnya stres, itu sudah lebih dari cukup untuk memulihkan tenaganya. Walau tidak ada salahnya juga untuk tetap berada di sini untuk menghemat tenaga.
“Tetap saja kau harus pulang secepatnya atau ibumu akan mengkhawatirkanmu.”
“Tetapi tugas cerpenku masih belum selesai!” Bukannya belum selesai, ia bahkan belum mengerjakannya. Aku yakin itu.
“Aku juga belum. Masih banyak yang harus kuperbaiki. Maaf, tetapi kau bisa melihatnya lagi besok.”
“Lagi? Ugh!” Mendengar kata itu terlontar dari mulutku, hampir tidak mungkin baginya untuk tidak kesal. Tidak ada kata “lagi” untukku. Selain itu, ia melanjutkan, “Kenapa tidak kau katakan saja kalau kau hanya ingin sendiri dan kedatangan seorang tamu membuatmu terganggu?”
“Aku hanya tidak ingin orang tuamu khawatir.” Aku tidak salah, namun apa yang telah sahabatku itu katakan memang lebih tepat. Masih banyak hal yang harus kulakukan sebelum ibuku pulang dari bekerja dan memikirkan hal itu saja sudah menjadi beban yang berat untukku. Sebagai seorang anak, ia harusnya juga sadar kalau ibunya sedang mengkhawatirkannya.
Senja semakin larut dan malam segera tiba. Di dalam ruangan di mana aku dan sahabatku berseteru akan suatu hal, aku yakin kalau ia pun akan sadar kalau percakapan ini tidak akan menghasilkan apapun lagi.
“Kau tidak perlu mengatakan itu, aku tahu apa maksudmu, kok,” ucapnya tenang mengakhiri pembicaraan. Dengan menggerakkan badannya membelakangiku, ia mulai memasukkan kembali buku tulis dan beberapa barang miliknya ke dalam tas.
“Padahal aku yang seharusnya bilang begitu, loh!” celetuknya.
Walaupun ia membelakangiku, aku merasa kalau segaris senyum tipis telah terukir di wajahnya. Entah kenapa, untuk kali ini, aku tidak tahu apa maksud perkataannya itu. Tidak. Sesuatu terlintas di pikiranku.
“Benar juga, ” ucapku sambil menghampirinya.
* * *
Beberapa jam telah berlalu saat sahabatku memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Aku mulai merapikan kembali meja belajarku yang telah dipenuhi lembaran-lembaran kertas dan beberapa barang lain.
“Siapa bilang tugas membuat cerpen itu mudah?” gumamku saat memikirkan kembali perkataan sahabatku. Namun, mengingat kembali apa yang kukatakan padanya tentang bagaimana mudahnya aku menulis, aku hanya bisa terdiam.
Setelah bertempur melawan tugas sekolah yang terbilang kejam, yang kuinginkan sekarang hanyalah beristirahat dengan tenang di kasurku yang telah menungguku dengan sabar. Tetapi aku bukanlah seorang yang pelupa. Aku masih ingat telah membuat janji dengan sebuah novel bersampul biru cerah.
“Ctrl Z,” gumamku tanpa sadar, mengingat kembali deretan huruf yang tersusun rapi dan mendominasi sampul depan novel tersebut.
Berdiri dari kursi dan menggerakkan kembali kakiku, aku menuju tasku yang tergeletak tepat di atas lemari baju. Tidak membutuhkan waktu yang lama sampai aku memeriksa tasku dan mendapati sesuatu yang aneh.
Benarkah terakhir kali aku meletakkan novel itu di dalam tas? Benar juga, terakhir kali kuingat, aku meletakkannya di atas kasur. Namun, itu tidak mungkin setelah melihat kembali kasurku yang sudah tertata rapi.
Mencoba untuk tetap tenang dan mengingat kembali di mana aku meletakkan novel milik sahabatku terakhir kali, aku mengitari seluruh ruangan hingga akhirnya memutuskan untuk mencarinya ke seluruh rumah, namun nihil. Yang kudapati justru adalah perasaan déjà vu yang muncul kembali. Yang benar saja, candaan ini membuatku sedikit kesal.
Kembali mencoba untuk tetap tenang, aku pun kembali ke kamarku dan merebahkan diri di atas kasur. Terbesit dalam pikiranku untuk menunggu ibuku pulang dan memintanya untuk membantuku mencari novel tersebut. Kupikir itulah pilihan terbaikku untuk saat ini.
* * *
Telah lama sejak terakhir kali terdengar suara ayam berkokok. Setelah mengambil tas dan memastikan tidak ada yang tertinggal, aku meninggalkan kamarku yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Itu terjadi bukan tanpa sebab. Mengingat kembali hari kemarin, aku lupa meminta ibuku membantuku mencari sebuah novel, tetapi aku terlalu mengantuk untuk mengatakannya.
Kembali ke hari ini, saat aku bangun dengan semangat dan mencoba untuk kembali mencari novel yang telah kuhilangkan hingga aku pun tersadar bahwa ada masalah yang lebih penting dari itu saat ini. Aku terlambat.
Melangkahkan kaki dengan cepat dan menyusuri gang-gang kecil di ibu kota, aku menertawai diriku sendiri. Melihat kembali kilas balik di masa lalu, sejujurnya, aku benar-benar kesal pada diriku sendiri. Entah kenapa di saat-saat seperti ini, aku justru teringat pada beberapa penggalan terakhir di bab terakhir novel yang kubaca. Sungguh, betapa menyedihkannya diriku.
Di bawah terik sinar matahari yang mengejek, ia mengayunkan kakinya dengan cergas melewati gang-gang kecil ibu kota. Memutar kembali cerita lama dalam gerak lambat, perkataan sang narator melayang keluar dari pikirannya.
Mencetak nilai merah yang sama berulang kali
Kita hanya berputar-putar di dunia setengah lingkaran
Akankah hari esok terlahir kembali?
Ia pun bertanya dalam kebosanan
Ctrl Z
–Tamat (?)–
Editor: Annisa Deli Indriyanti