Wafiq Azizah | Eunopia | Sastra Indonesia 2022
Telepon rumah itu akhirnya ia letakkan ke tempatnya segera setelah kalimat terakhir mengalun melalui sinyal kabel telepon. Hanya benda berwarna gading kekuningan di atas nakas dekat vas itu yang menjadi alat komunikasi antara Dale dengan ibu dan ayahnya. Jarak mereka terlampau jauh berkilo-kilo meter. Lagi pula, Dale hanya bisa pulang ke rumah orang tuanya setelah 3 tahun berselang. Jadi, komunikasi antar Dale dan orang tuanya harus tetap lestari.
“Jangan lupa makan teratur, ya.”
“Jangan lupa membayar uang sewamu. Kalau butuh uang, telepon nomor ini saja, nanti akan Ayah atau Ibu kirimkan.”
Klasik, sebab selalu menggema di bilik rungu Dale tiap telepon rumah itu membunyikan dering. Maka Dale hanya mampu mengangguk-angguk sendiri yang sebenarnya tidak akan terlihat juga oleh siapa pun. Di apartemen tempatnya tinggal, di dekat Universitas Parkway, Kota Pensacola, Florida, Dale sesekali mengeluarkan suara paling kerasnya tatkala menjawab panggilan telepon rumahnya.
Setelah tangannya terlepas dari gagang telepon, seperti biasa Dale akan menyalakan kompor kemudian meletakkan pan kecil di atasnya. Biasanya ia akan memasak ham instan atau makaroni dengan campuran keju untuk makan malam, lantas menyantapnya dengan seorang diri. Akan tetapi, kali ini nalurinya seolah membawanya untuk mengambil ham kalengan daripada kemasan berisi makaroni dari supermarket. Perutnya terasa lebih lapar daripada biasanya.
Kalau masakannya siap untuk disaji, Dale akan mengambil posisi duduk di dekat nakas sembari menyetel lagu dari kaset piringan hitam kesukaannya. Ketika suasana hatinya sedang melankolis, maka ia akan memilih lagu-lagu Bob Dylan untuk dimainkan. Antara “Knockin’ On Heaven’s Door” atau “The Times They Are A-Changin’” akan jadi pilihan terakhirnya. Berbeda apabila suasana hatinya entah dari mana tiba-tiba mendatangkan bahagia, lantas lagu-lagu Queen akan jadi primadona apartemen studionya itu.
Saat goresan timbul dari kaset piringan hitam dijamah secara perlahan oleh sebuah jarum emas pemutar kaset, lantas di saat itu pula pikiran Dale akan mengawang entah ke mana. Kadang ia berpikir bagaimana jika ia mati hari ini, besok, atau bulan depan. Kadang kala ia juga terpikirkan bagaimana cara ia mati. Jelas ia tidak ingin mati karena seseorang tiba-tiba masuk apartemennya membawa sebuah gergaji mesin karatan atau karena hal sepele seperti epidemi kesendirian yang melandanya makin-makin.
Barangkali Dale ingin mati dengan cara yang tak pernah terpikirkan olehnya. Lagi pula, ia yakin mati karena dibunuh atau bunuh diri sebenarnya bisa dihindari karena itu merupakan kehendak manusia. Ada kematian yang memang tak dapat dihindari sebab manusia tak indahkan mampu memiliki kuasa di atasnya. Rasa gurih dari ham dan keju yang ia makan pun tak mampu menjamin kalau ia akan tetap hidup setelah memakannya. Faktanya, sekarang ham dengan keju yang ia makan telah habis tak bersisa, sementara ia masih tetap hidup.
Kalau sudah sadar bahwa ia berpikir tentang kematian, Dale sesegera mungkin menepis pikiran beracun itu. Hal-hal acak akan coba ia panggil ke dalam kotak pikirannya. Saat itu, ia telah berada di depan tempat pencuci piring demi membersihkan alat-alat makannya dan suara selain aliran air muncul dari ruang utama tempat tadi Dale makan. Itu dering telepon rumahnya. Sekarang telah pukul 22.00, Dale jadi agak sangsi jika ada orang betulan yang meneleponnya hampir tengah malam. Alisnya membuat kerutan di keningnya sementara decakan lepas dari bibirnya ketika keran telah dimatikan dan ia berjalan menuju gagang telepon.
“Halo-”
“Nak,” kata seseorang di balik telepon.
“Ibu? Kenapa menelepon lagi? Apa Ibu belum tidur?”
“Kau sudah makan?” Ibunya bertanya. Suaranya terputus-putus.
Dale tercenung menatap ke sembarang arah. Darahnya berdesir memikirkan sesuatu.
“Bukankah beberapa jam yang lalu Ibu sudah menelepon?”
“Jangan lupa makan teratur, ya.”
Sontak gagang telepon Dale banting ke tempatnya. Pupilnya membesar seiring dengan getaran yang tetap muncul pada telepon tersebut. Dengan ragu ia kembali mengangkatnya.
“Dale, ini Ayah.” Suara ayahnya juga terputus-putus. Dale mulai merasa lega sedikit. Mungkin telepon tadi hanya mengisyaratkan bahwa ibunya begitu merindukannya sampai mengulang ucapannya di telepon, mungkin ibunya memiliki firasat aneh ketika memikirkannya, mungkin ibunya takut dia memulai dietnya lagi, mungkin ….
“Jangan lupa membayar uang sewamu. Kalau butuh uang telepon nomor ini saja, nanti akan Ayah atau Ibu kirimkan.”
Mungkin juga tidak dengan kemungkinan yang terpikirkan oleh Dale. Ayah dan ibunya benar-benar mengulangi ucapannya. Dale tidak tahu harus menjawab apa. Ia bahkan tidak tahu apakah benar bahwa orang tuanya yang meneleponnya di balik sana. Setelahnya yang dikatakan ayahnya tidak lagi jelas karena Dale sibuk dengan pikirannya sendiri, bahkan dengan lubang suara telepon yang masih menempel di cuping telinganya, suara-suara telepon seolah melayang laiknya tidak masuk sama sekali ke lubang telinganya.
Tatkala Dale akhirnya mengumpulkan kesadaran, suara ayahnya kembali terdengar.
“Bzzz …. Rumah dan apartemen … bzzz … Florida … sekarang …. Bzzzzzz.”
Kini telepon benar-benar terputus. Perlahan tangan Dale pun meletakkan gagang telepon ke tempatnya semula. Seperti sebuah teka-teki rumpang, ia tidak menemukenali apa maksud ayah dan ibunya. Selanjutnya hening. Perasaan sunyi atas kesendirian yang Dale alami seolah tidak menghidupkan suasana apa pun karena terasa berkali-kali lipatnya. Untuk saat ini, Dale terpikirkan agar segera pulang ke rumah orang tuanya. Ia hanya bisa pergi ketika akhir pekan atau libur nasional di musim dingin agar transportasi umum tidak terlalu padat, tetapi sekarang masih hari Kamis di musim panas jadi ia memilih untuk pergi di akhir pekan. Jika berpeluang, ia akan mengambil cuti selama seminggu ketika semester baru telah dimulai, tahu-tahu bila orang tuanya mengharuskannya tidak kembali ke apartemen untuk sementara.
Terpikirkan bagaimana jika ia yang lebih dulu menelepon? Jawabannya, tidak. Dale terlalu takut bilamana orang tuanya akan mengulangi hal yang sama melalui telepon tersebut. Boleh ia bilang, laksana berbicara pada radio rusak dan orang tuanya bukan radio rusak.
Akhir pekan itu tiba. Dale telah mengabari Prof. Becky Bennington, dosennya, melalui surat elektronik. “Orang tuaku jatuh sakit,” gagasnya yang walaupun hingga akhir fajar, surel tersebut tak kunjung terkirim tanpa sepengetahuan Dale. Selanjutnya perlu naik taksi, kereta, taksi, berjalan kaki sedikit demi sampai ke rumah orang tuanya yang semua itu membutuhkan waktu selama 8 jam. Ketika sampai, alangkah paniknya Dale ketika mendapati rumahnya tak berpenghuni. Ia yakin letaknya tidak jauh dari pom bensin di utara dan sejajar dengan minimarket di seberang jalan. Sementangpun rumah orang tuanya tidak dikenali lagi bentuknya, rumah-rumah di kiri dan kanannya tetap sama.
Ia mencoba untuk masuk menggunakan kunci duplikat yang dimilikinya, mencari ke sana-sini walau akhirnya ia tak menemukan barang sejengkal jejak orang tuanya. Namun, telepon rumah yang dipakai orang tuanya masih di tempat yang sama. Dale langsung merutuki dirinya sendiri lantaran mengingat mengapa ia tidak seharusnya meminta nomor telepon lain selain telepon rumah. Sekarang celakalah dia.
Seseorang di sebelah kiri rumah itu tengah memanggang barbekyu di pekarangan depan rumahnya dan orang itu akan jadi target pertanyaan-pertanyaan Dale nantinya. Ia lelaki tua berwarna surai kunyit dengan topi koboi, setelan kemeja biru muda, dan celana denim.
“Permisi, Tuan …,” Dale bertanya ragu-ragu, “kalau aku boleh bertanya, kiranya di mana pasangan suami istri yang tinggal di rumah ini?”
Yang merasa diajak bicara mengangkat wajahnya. Kumis keabu-abuannya turun naik tertiup asap dari barbekyu.
“Aku baru pindah ke sini seminggu yang lalu, tetapi setahuku mereka memang sudah tidak ada sejak lama jika menurut pemilik rumahku sebelumnya. Menurutnya, mereka sedang mencari apartemen di Pensacola,” jawabnya malas. Mukanya merah sebab asap panas dan tangannya sibuk sendiri memotong daging sembari membolak-balikkannya.
“Eh? Tapi mereka masih meneleponku menggunakan nomor telepon rumah yang sama beberapa hari lalu?”
“Apakah itu terlihat seperti urusanku?” Si lelaki kemudian mendesis pelan.
“Baik, terima kasih, Tuan.”
Terlampau kecewa, Dale tidak berminat bertanya lebih lanjut. Ia kembali berjalan menyusuri jalan rumahnya sebelum mencari taksi. Selama di perjalanan pulang ia terlalu terbendung oleh kebisingan di ruang pikirannya. Pikirannya terlalu penuh hingga ia lupa untuk membeli tiket kereta. Ia bahkan tak ingat harus naik apalagi setelah naik taksi.
Sampai di apartemennya, ia masih mencari cara untuk mengetahui di mana kedua orang tuanya kini singgah. Agak takut-takut, Dale coba hubungi nomor telepon rumah mereka. Satu panggilan tidak diangkat. Dale coba tekan kembali untuk yang ke-10 kalinya dan telepon rumah orang tuanya tetap tak bisa dihubungi. Telepon yang ke-11 kalinya, Dale coba katakan sesuatu kendati putus asa.
“Di mana sebenarnya kalian berada?”
Sebuah genangan air berkumpul, terlalu berat hingga kelopak matanya tak sanggup menahannya. Begitu pula relung Dale. Jika sebelumnya ia telah sendiri tanpa merasa terlalu sendiri, maka kali ini seolah ia memang benar-benar sendiri. Jagat raya laiknya menghinanya dengan seburuk-buruk hinaan. Tak masalah kalau ia benar mati karena epidemi kesendirian ini, selama semesta berkehendak, pikirnya.
“Apa yang terjadi pada kalian?” kata terakhir yang diucapkannya melemah. Dale kadung menangis terisak tatkala meletakkan gagang telepon ke tempatnya. Ini pertama kalinya ia menangis di apartemen tempatnya bermukim. Tangisnya penuh luka, seolah memendam kesedihan selama setengah dasawarsa. Jendela apartemen, kulkas, wastafel, kamar mandi, sofa, alat pemutar musik klasik, dan telepon itu mendengar tangisan Dale yang menggema.
Detik demi menit ternyata telah membawa Dale pada rasa kantuk hingga ia tertidur di atas sofa. Ketika ia bangun, matahari belum kunjung naik ke ufuknya, tetapi kemudian ia beranjak ke dapur dan membuat sarapan. Setelah itu tidak akan ada yang dilakukannya. Dale akan memutar kaset piringan hitam dan lanjut melamun sampai ia tertidur sendirinya selama berjam-jam, berhari-hari. Satu yang ia tunggu, dering nyaring dari telepon di sampingnya.
Hari itu Dale tak lagi menunggu, ia jalan sendiri ke arah kamarnya, memasang tali yang cukup tebal pada teralis di atas pintu, membawa kursi, dan berdiri di atasnya. Sebuah simpul dengan lingkaran seukuran ubun-ubunnya ia kencangkan sedemikian rupa. Lingkaran itu ia ikatkan di lehernya, hampir mencekik kerongkongannya dan memaksa bola matanya untuk meledak. Kursi di bawah kakinya ia tendang ke sembarang arah bersamaan dengan dirinya yang mencoba untuk melayang pada tali yang semula di genggamnya.
Maka bola mata Dale benar-benar hampir meloncat dari liangnya kalau saja talinya cukup kuat untuk mengangkat raganya atau simpulnya cukup kencang. Nyatanya, sekarang ia terjatuh dan menimbulkan dentuman keras yang terdengar oleh apartemen di bawah miliknya. Dale tak sadarkan diri. Nyawanya mungkin akan mematikan sendiri lagu Bob Dylan yang sedang dimainkan oleh pemutar piringan hitam kalau saja tetangganya tidak melaporkan dentuman itu kepada pemilik apartemen.
Sekarang di sinilah dia. Terbaring di atas kasur dengan helai kain putih tulang. Matanya masih tertutup rapat-rapat, bibirnya kering bukan main, dan makanan yang dimakan terakhir kali adalah semangkuk angin. Bukan di rumah sakit atau lebih tepatnya di rumah sakit jiwa. Seorang yang memiliki nama atas asuransinya hanya memberinya akses ke tempat tersebut. Kalau Dale bisa menebak dengan mudah, lantas ia tak akan berada di sini sekarang.
Sesungguhnya asuransi itu adalah atas nama ayahnya. Dale tidak ingat itu, sebab ingatannya terhenti semenjak dua tahun yang lalu. Penyakit terkutuk demensia telah menggerogoti otaknya di usia muda yang kian membuatnya tak ingat kalau ia sebenarnya tak bisa menyalakan pemutar kaset piringan hitam; memasak sarapan untuk dirinya sendiri; dan cara mengikat tali menjadi simpul mati. Ia bahkan tak ingat lagi alamat surel dosennya dan selama ini tidak ada pesan yang berhasil dikirim. Ia juga telah lulus dari kuliahnya 4 tahun yang lalu. Namun, masih banyak yang tersimpan di memorinya yang entah sampai kapan akan bertahan. Sebagaimana rute menuju rumah orang tuanya, bentuk rumah mereka dan rumah di sekitarnya, kedua suara mereka, serta-merta nomor telepon rumah mereka. Semua hanyalah tentang orang tuanya semata.
Pelbagai perihal telah diketahui jauh sebelum orang tuanya berpisah dengannya. Itulah mengapa, ayahnya telah menyiapkan asuransi kesehatan untuknya. Akan tetapi, orang tuanya tidak pernah berpikir bahwa kondisinya akan memburuk, walau ada sesuatu yang harus terus terulang agar suatu saat nanti Dale tak ‘kan melupakannya. Kalimat yang sama, kalimat:
“Jangan lupa makan teratur, ya.”
“Jangan lupa membayar uang sewamu. Kalau butuh uang telepon nomor ini saja, nanti akan Ayah atau Ibu kirimkan.”
Kalimat yang selalu terulang melalui telepon apartemennya itu satu-satunya cara Dale untuk mengingat suara kedua orang tuanya. Sedikit banyak yang tak pernah ia ketahui, sungguh seharusnya telepon itu tidak pernah berdering lagi sejak ayah dan ibunya tewas mengenaskan dalam kecelakaan tunggal ketika menuju apartemen Dale setengah tahun yang lalu. Mereka terpaksa meninggalkan Dale sendirian, menghancurkan sukmanya dalam lumbung epidemi kesendirian.
Lini masa jaringan yang ada di telepon itu bagai acak, terimpromptu untuk menyampaikan secara berulang kalimat-kalimat yang sama. Selalu sama, kecuali saat Dale akhirnya sadar dan melakukan protes dari balik telepon. Kalimat-kalimat itu bak terputus-putus, kemudian terhenti. Sebelum Dale dibawa ke rumah sakit jiwa, telepon itu sempat berdering kembali dan diangkat oleh pemilik apartemen. Seolah ada hal lain yang mengawang terlambat di jaringan kabel, orang tua Dale berkata, “Jika suatu saat nanti kamu telah mengetahuinya, maafkan kami karena tidak memberitahumu lebih awal, Nak.”
Editor: Annisa Deli Indriyanti