Address
Jl. Rawamangun Muka, Pulo Gadung, Jakarta Timur, DKI Jakarta – 13220
Phone

Hakikat Pers: Sebenar-benarnya Wakil Rakyat


Wafiq Azizah | Eunopia | Sastra Indonesia (2022)

 

Kamera profesional, pelantang, penyuara jemala, tali penyandang kartu, rompi atau seragam pengenal; segalanya dalam satu, yaitu pers. Mereka yang eksistensinya tiada lekang waktu. Titimangsa demi titimangsa justru menjadikan pers sebagai entitas yang lebih kuat untuk berdiri di atas tapak sendiri demi menyampaikan warta dari masyarakat kepada masyarakat. Surat kabar, televisi, tabloid, ponsel pintar, buletin, artikel daring, entah dalam medium apapun pers selalu siap menjadi garda terdepan dari pembawa kabar setiap harinya.

Di masa yang serba dipengaruhi oleh globalisasi ini, pers juga membantu kita mengetahui berita tidak hanya di kancah tanah air, tetapi juga di seluruh mancanegara. Dalam skala sepersekian detik, kabar yang up to date langsung demikian dapat kita ketahui berkat kehadiran pers. Namun, sebab adanya kewajiban para pers dalam mengejar berita dan menyebarluaskannya kepada khalayak, seolah ada harga yang harus dibayar baik dalam jumlah kecil maupun dalam jumlah yang tak terkira. Sebagaimana ucapan Genki Kawamura dalam bukunya “Jika Kucing Lenyap dari Dunia” bahwa untuk memperoleh sesuatu—kita harus kehilangan sesuatu.

Di antara harga yang harus dibayar tersebut ialah perihal hak kebebasan pers. Termasuk dalam kebebasan hidup. Pelaku-pelaku pers tentunya harus membayar mulai dengan harga yang kecil, seperti tenaga, waktu, usaha hingga pundi-pundi pribadi dari rogohan kantong mereka. Tanpa diduga-duga, mereka juga membayar harga dari yang bernilai sedang hingga tinggi, seperti apakah bentuknya? Agaknya kita semua tahu, di beberapa kesempatan, para pers harus mempertaruhkan nyawanya demi menyampaikan kabar. Kabar yang disampaikan pun juga harus aktual dan faktual. Sekali lagi, apa yang kita ketahui? Mereka melakukannya tentu dari masyarakat demi masyarakat, demi rakyat.

Mereka mengedepankan moral dan pekerjaan mereka, kausa mereka yakin ada mayoritas masyarakat yang membutuhkan kabar dan juga membutuhkan bantuan melalui kabar yang disebarluaskan. Betapa kita mengetahui hal ini tercermin sebagaimana pada genosida yang menimpa warga Palestina. Sekonyong-konyongnya para wartawan dengan rompi biru lazuardi bertuliskan PRESS (pers) menyampaikan kabar kepada masyarakat di berbagai belahan dunia. Mereka berdiri memegang mikrofon nirkabel sembari menghadap kamera, warga sipil bertalu-talu melarikan diri akibat rumah mereka yang terus mendapat serangan dari Israel.

Per 31 Desember 2023 kemarin, sayangnya telah terhitung 106 wartawan yang wafat akibat terkena serangan yang jatuh menimpa Palestina. Kejadian tak terhindarkan ini menjadi sebuah batas keberanian para wartawan sebagai garda terdepan pers untuk dihadapkan pada pilihan, mengabdi pada tuntutan pekerjaan dengan turun ke medan langsung tetapi nyawa terancam ataukah tidak turun ke medan sama sekali agar nyawa selalu terselamatkan? Perasaan gamang yang didapatkan oleh para pers ini sering kali juga diabaikan oleh pemerintah, padahal pers menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan masyarakat.

Kebanyakan dari kita mungkin mengenal nama yang cukup familiar dalam berita genosida Palestina, tak lain adalah Motaz Azaiza. Sama dengan wartawan yang meliput berita di Palestina, Motaz juga mengenakan atribut PRESS. Ia berangkat ke Palestina berbekal kepastian dan keberanian yang dimilikinya. Ia juga cukup aktif di media sosial sehingga tak jarang video unggahannya mampu menarik banyak atensi khalayak demi mengetahui kabar terkini dari Palestina melalui unggahannya tersebut.

Video unggahannya itu berisikan warga Palestina yang menderita dari segi fisik karena harus mengalami luka-luka—juga segi batin karena trauma dan ansietas karena telah kehilangan anggota keluarga mereka sejak genosida terjadi. “Just remember, what you watch is less terror than what you didn’t watch because no one could film it (Ingatlah, apa yang kamu lihat adalah kurang parah jika dibandingkan dengan yang kamu tidak bisa lihat karena tidak ada yang merekamnya),” tulis Motaz ketika mengunggah salah satu video adanya pengeboman di Palestina.

Kendati demikian, sangat disayangkan karena ternyata Meta—perusahaan media sosial yang dikepalai oleh Mark Zuckerberg serta menaungi aplikasi Facebook, WhatsApp, Instagram, Messenger, dan lain-lain—diketahui telah menangguhkan akun Facebook milik Motaz pada Senin lalu (25/03/2024). Mau tak mau, untuk sementara Motaz harus menggunakan akun media sosialnya yang lain.

Sungguh naas, sebab hidup dan kebebasan pers tidak sepenuhnya menjadi aman serta dilindungi terutama pada kondisi genosida seperti yang terjadi di Palestina. Seolah ada tuntutan bahwa para pers memang boleh untuk memberitakan warta, tetapi warta yang diberitakan tidak boleh membuat pihak tertentu memiliki pandangan yang buruk dari masyarakat. Ini jelas sudah melanggar etika pers yang sudah semestinya membawakan warta yang faktual dan aktual.

Betapa sukarnya mewartakan berita, melakukan pekerjaan yang semestinya. Di Indonesia sendiri, pers pernah mengenyam masamnya sejarah. Pada masa Orde Baru, pers menjadi salah satu golongan yang mengalami tekanan paling besar dari para penguasa. Kebebasan mereka diperketat dengan dirilisnya pertentang Penambahan UU No. 11/1966, dan UU No. 21/1982 tentang Perubahan atas UU No. 11/1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4/1967. UU No. 11/1966 dan UU No. 4/1967 tampak sekilas memberikan kebijakan kebebasan terhadap pers walau ternyata berlaku sebaliknya. Kebijakan tersebut malah digunakan untuk mencabut hak berpendapat pers dan media massa.

Penguasa Orde Baru saat itu menginginkan terciptanya stabilitas politik, dengannya mereka mengawasi dan membatasi kebebasan pers saat itu. Sementara yang dikehendaki adalah yang sejalan dengan napas politik para pemerintah Orde Baru. Tibalah saat bangkitnya era Reformasi, pemberlakuan UU Pers No. 44/1999 menandai awal kebangkitan pers kembali di Indonesia. UU tersebut mengatur sistem pers liberal, mengembalikan pers pada posisinya semula hingga detik ini.

Dibanding hanya berpihak pada pemerintahan dan sejalan dengan falsafah politik tanpa tikungan, sesungguhnya pers berada pada sisi oposisi terhadap pemerintah. Pers memang dibuat oleh pemerintah itu sendiri, tetapi kemudian hadirnya pers adalah menjadi penghubung gagasan masyarakat terhadap pemerintah. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Orde Baru, semestinya pers-lah yang mengawasi seluruh kinerja pemerintah. Pers tidak boleh lengang dari kritisi sebab pembangunan nasional lebih diutamakan.

Dengan demikian, pers merupakan pilar keempat demokrasi yang artinya berperan sebagai pengawas yang memiliki kebebasan dalam mengawasi dan mengkritisi segala kebijakan pemerintah, berperan sebagai media yang senantiasa menyediakan informasi yang aktual dan faktual kepada masyarakat, berperan sebagai mediator dalam menyampaikan gagasan maupun kepentingan masyarakat kepada pemerintah, serta menjadi garda utama dalam membantu masyarakat mengambil keputusan yang didasari oleh kebenaran informasi yang ada.

Beragam cara kritik itu dibuat oleh pers, salah satunya adalah media massa Tempo yang menggunakan karikatur para tokoh pemerintah untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan para penguasa. Tempo menyajikan kritikannya dalam bentuk karikatur yang sarat akan warna satir. Hingga kini, Tempo masih mengunggah karikatur-karikatur satir tersebut sebagai bentuk kehadiran mereka yang menengahi masyarakat dan pemerintah dan usaha-usaha mereka mengkritisi kebijakan pemerintah agar tidak melenceng dari falsafah demokrasi yang telah ditetapkan di Indonesia.

Sebagai media massa, pers bertanggung jawab atas apa yang mereka beritakan atau sebarluaskan kepada masyarakat. Tugas mereka membantu hak dan kepentingan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi hingga menjadi sarana untuk berkomunikasi satu arah. Oleh kausanya, pers memegang utuh profesionalisme dan etika jurnalisme. Demikian adanya perspektif pers sebagai “wakil rakyat” ialah sebagai yang mewakili rakyat atau masyarakat dalam menjadi pondasi utama pembangunan nasional dan eksistensi Indonesia sebagai negara yang berkembang sesuai dengan etika yang memikirkan berbagai hak dan kepentingan yang ada.

 

Editor: Annisa Deli Indriyanti