Address
Jl. Rawamangun Muka, Pulo Gadung, Jakarta Timur, DKI Jakarta – 13220
Phone

Ikatan Sakral yang Terlantar


Sumber: Pexels

Dyah Pramesti Purbowati | Eunopia | Sastra Indonesia (2022)

Pernikahan hanya memiliki dua penghujung, kematian ataupun perceraian. Kematian seorang pasangan menjadi tanda bahwa ikatan sakral yang terucap berjalan sesuai tujuan. Kematian menjadi bukti keabadian sebuah cinta dari kehidupan pernikahan, setidaknya bagi orang yang meninggalkan. Lalu bagaimana dengan penghujung yang satunya? Apakah berarti perceraian itu menjadi suatu yang buruk? Lantas apakah perceraian menandakan kegagalan dalam berkeluarga? Dan apakah perceraian memang perlu dilakukan?

Dewasa ini, kasus perceraian di Indonesia kian meningkat. Dikutip dari databoks, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang tahun 2022 ada 516.334 kasus perceraian di Indonesia yang telah diputus oleh pengadilan. Ironisnya, jumlah tersebut hanya mencakup perceraian pasangan yang beragama Islam, belum keseluruhan. Sebanyak 75,21% atau 388.358 kasus perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya yang sah. Kemudian 24,79% atau 127.986 kasus lainnya merupakan kasus talak atau perceraian yang diajukan oleh suami. Lebih buruknya, kasus perceraian pada tahun 2022 ini mencapai angka tertinggi yang ada di Indonesia.

Melihat kasus perceraian yang ramai dilakukan, lantas timbul pertanyaan, apa penyebab utama dari perceraian? Dilansir dari databoks, terdapat lima faktor utama penyebab perceraian terjadi di Indonesia. Perselisihan, pertengkaran, ekonomi, meninggalkan salah satu pihak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan mabuk. Lalu disusul kasus yang disebabkan oleh murtad, dihukum penjara, poligami, zina, dan madat. Namun, apakah penyebab perceraian memang hanya karena hal tersebut? Bisa jadi, ada lebih banyak alasan yang belum disebutkan dan masih dianggap sebagai hal yang sepele.

3P yang Menghancurkan
Pikiran kerap kali menjadi sebuah cerminan dari diri seseorang. Pikiran yang baik, tentu akan menghasilkan energi yang baik pula, entah untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain. Begitu pula sebaliknya, pikiran yang buruk akan memberikan energi yang buruk. Hal itu tentu akan berdampak pada sebuah hubungan yang awalnya baik perlahan mulai menjadi hubungan yang beracun sehingga lama-kelamaan akan mengikis akal sehat dan berakhir pada perpisahan. Pasangan yang telah menikah, tentu memiliki naluri yang terhubung sehingga perubahan sekecil apa pun lama-kelamaan akan terasa. Perubahan yang dimaksud bukan hanya perubahan pada sikap, tetapi juga perubahan pada cara berpikir, prinsip, ataupun pilihan dari pasangan.

Banyak hubungan yang kandas hanya karena sudah tak lagi satu pemikiran. Salah satunya, seperti yang terjadi pada hubungan rumah tangga Tom dan Lani dalam buku berjudul Mereka yang Tidak Berbahagia (2019) karya Robby Julianda dan Ruhaeni Intan. Buku tersebut memang tak melulu menceritakan hal mengenai perceraian keduanya, tetapi alasan perceraian yang dilakukan oleh Tom dan Lani sejalan dengan kehidupan dewasa ini.

Lani yang merasa bahwa Tom tak memiliki ambisi apa pun sebagai seorang suami, kecuali memiliki sebuah rumah dengan kebun di belakangnya di sebuah pedesaan. Semakin lama mereka bersama, Lani semakin berpikir bahwa Tom terlalu naif. Konflik keduanya tak hanya berhenti di sana. Tom tak ingin mempunyai anak dengan alasan bahwa masa kecilnya telah menjadi bukti bahwa dunia terlalu kejam untuk anak-anak dan Lani menyetujuinya. Namun, seiring berjalannya waktu, Lani mulai memikirkan pilihan lain, ia merasa boleh jadi mereka dapat menjadi orang tua yang baik. Sayangnya hal tersebut membuat hubungan mereka semakin memburuk dan mulai menggerogoti diri mereka dari dalam. Dengan begitu, keduanya memutuskan untuk bercerai.

Kasus selanjutnya merupakan kasus yang baru-baru ini terjadi, yaitu perceraian yang diakibatkan oleh perbedaan pilihan calon presiden. Hal tersebut memang terdengar konyol, tetapi faktanya yang dikutip dari BandungBisnis.com bahwa ada 1.200 pasangan yang bercerai karena perbedaan pandangan politik, lebih spesifiknya perbedaan pilihan calon presiden di tahun 2024. Kasus-kasus tersebut menjadi bukti bahwa menikahi seseorang yang memiliki kesamaan prinsip, pilihan, dan juga pemikiran menjadi persoalan yang penting. Ketiga hal yang telah disebutkan sebelumnya dapat menjadi muara dari persoalan yang dihadapi oleh keluarga. Namun, yang lebih penting adalah adanya toleransi atas perbedaan pendapat dan pemikiran di antara suatu hubungan. Dengan begitu, setidaknya salah satu faktor dari perceraian mungkin saja dapat dihindari.

Hal Kecil yang Mematikan
Pepatah pernah mengatakan bahwa “sedikit demi sedikit lama-lama akan menjadi bukit”. Namun, dalam konteks ini, hal tersebut menuju pada konotasi negatif. Ada kalanya penyebab perceraian bukanlah sesuatu yang fatal dan malah disebabkan oleh permasalahan kecil yang sering kali tidak dianggap atau disepelekan. Jadi, maksudnya hal-hal sepele yang terus-menerus dibiarkan lama-lama juga akan menjadi masalah yang fatal.

Hal tersebut dibuktikan oleh pengalaman salah satu pengguna X atau Twitter dengan akun @bingungmilihnya, ia bercerita bahwa kedua orang tuanya bercerai hanya karena ayahnya yang sering kali membuang puntung rokok di dalam pot bunga kesukaan ibunya. Hal tersebut memang terlihat sepele, hanya saja jika diteliti lebih jauh lagi hal yang dilakukan sang suami merujuk pada tindakan nirempati sang suami akan hal yang disukai istrinya. Cerita serupa juga dibagikan oleh pengguna akun X atau Twitter dengan nama akun @practicalastros. Ia menceritakan pengalaman bercerainya dengan sang suami hanya karena kaos kaki. Ada juga yang bercerai karena handuk basah yang terus-menerus ditaruh di atas kasur atau suami yang enggan mengisi air mineral di rumahnya.

Alasan-alasan yang diajukan pada kasus-kasus di atas memang terlihat sepele, bahkan sangat sepele. Namun, ketika hal-hal tersebut terus diabaikan lama-kelamaan akan berubah menjadi bom waktu yang siap untuk meledak kapan saja. Berada di situasi yang sama, berbicara hal yang sama, bertengkar dengan alasan yang sama tentu memicu kebosanan yang akan menjadi sumbu perkelahian.

Menikah bukan akhir, justru menikah menjadi awal kehidupan. Bertemu, berbagi tempat tidur, mengisi waktu luang, berpergian, dan menghabiskan waktu seumur hidup dengan orang yang sama bukanlah hal yang mudah. Oleh sebab itu, menikah hanya karena alasan yang sepele, seperti umur, tuntutan keluarga, atau karena tekanan dari lingkungan bisa dipikirkan kembali dengan matang. Memutuskan untuk menikah dengan orang yang salah, berarti menerima tekanan seumur hidup. Selamanya itu lama, sangat lama hingga waktu yang tidak dapat ditentukan. Jadi, dibutuhkan pasangan yang menghargai hal-hal kecil, dapat berkomunikasi dengan baik, dan juga mempunyai kesabaran yang tebal.

Editor: Muhammad Fahri Novarian