Ajeng Septia Ningsih | Arutala | Sastra Indonesia (2023)
“Impian lelaki adalah mengurung perempuan bebas dalam sangkar.” – Trevor Noah
Menjadi seorang perempuan berarti menjadi seseorang yang terjebak antara harus tunduk pada stigma masyarakat yang mengatakan bahwa derajat perempuan ada di bawah lelaki atau justru keluar dari sangkar dan memilih terbang bebas di bawah sayapnya sendiri. Tidak bisa dipastikan sepenuhnya benar, tetapi satu yang pasti bahwa stigma tersebut telah memborgol para perempuan untuk mencapai tujuan hidupnya, tak jarang banyak dari mereka yang mungkin merasa terbebani.
Di era generasi sebelumnya yang jauh dari modernitas, posisi perempuan sangat dikerdilkan oleh tradisi dan pandangan masyarakat yang masih memiliki pola pikir tradisional. Oleh karena itu, budaya patriarki seolah merupakan sesuatu hal yang lumrah dan dinormalisasikan masyarakat sebab sebagian besar dari mereka yakin bahwa para lelakilah yang berhak mengambil peran besar serta penentu keputusan dalam suatu hubungan yang melibatkan perempuan.
Seiring perkembangan zaman, globalisasi dan modernisasi pun mulai mengambil alih segala aspek kehidupan di kalangan masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia sendiri. Para pemikir dengan opini mereka mulai menunjukkan eksistensinya, pendidikan mulai berkembang pesat, dan telah berhasil melahirkan sosok-sosok hebat dengan pemikiran yang tak kalah hebat pula. Begitu juga dengan para perempuan yang sudah mulai berani untuk mengemukakan pandangan mereka terkait independensi perempuan agar mereka tidak lagi tertindas oleh budaya patriarki.
Sayangnya, modernitas dan eksistensi perempuan independen yang mulai merajalela masih belum cukup untuk menghilangkan pola pikir patriarki terutama di kalangan para pria. Mereka seolah tutup mata dan masih memandang perempuan sebagai objek yang pekerjaannya tak jauh-jauh dari rumah tangga. Mereka yang memiliki atau membuat pemikiran patriarki ini, tentu masih belum terlepas dari paham standar ganda sebagai ajang untuk membela diri atau untuk menunjukkan eksistensi diri dalam lingkar gender antara laki-laki dengan perempuan.
“Perempuan itu nggak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujungnya juga bakal kerja di dapur. Tugas perempuan itu mengurus anak, mengurus rumah tangga, dan mengurus suaminya. Perempuan harus nurut sama lelaki karena selamanya perempuan akan ada di bawah naungan lelaki. Jadi perempuan itu jangan terlalu mandiri dan kuat, nanti laki-laki enggak suka.”
Ujaran-ujaran seperti itu masih dapat didengar di era modern ini. Salah satu faktornya adalah karena mereka menginginkan perempuan yang berkarakter konservatif (tradisional) dalam suatu pernikahan. Namun, mereka juga tetap akan mengejar perempuan yang lebih independen agar ia bisa menjinakkannya, membuat seakan ‘wanita tunduk’ padanya. Padahal, sudah sepantasnya independensi dimiliki oleh setiap manusia termasuk perempuan, tentunya dengan takaran masing-masing individu sebab menjadi perempuan independen tidak sama dengan menghilangkan peran laki-laki di dunia ini. Seperti yang tertulis dalam buku The Alpha Girl’s Guide (2020) karya Henry Manampiring yang di dalamnya menyatakan bahwa perempuan harus pintar, bersekolah tinggi, dan tidak boleh menggantungkan kebahagiaan dan kesejahteraannya hanya kepada seorang laki-laki.
Kurangnya independensi perempuan dan budaya patriarki merupakan dua hal yang saling terkait dan saling memengaruhi dalam masyarakat. Budaya patriarki yang masih kuat di beberapa komunitas mengakibatkan perempuan sering kali tidak memiliki otoritas dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan hidup mereka dan kehilangan hak untuk berpendapat. Akibatnya, perempuan yang tidak mandiri cenderung memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lain sehingga rentan menjadi korban kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
Selain itu, ketidakseimbangan kekuasaan antara lelaki dan perempuan juga dapat berpengaruh pada kemajuan sosial dan ekonomi suatu negara. Jika perempuan di dunia ini hanya bergantung pada lelaki saja dan mengesampingkan pendidikannya, maka bisa jadi hal tersebut akan berdampak kepada generasi penerus bangsa sebab potensi kecerdasan anak menurun lebih tinggi dari gen ibunya selaku perempuan. Dari contoh kasus ini pula, patriarki sudah tergambar bisa mengancam generasi dan kemajuan suatu bangsa.
Dalam budaya patriarki, perempuan sering kali tidak memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan tentang hidup mereka sendiri. Mereka dikekang oleh norma-norma sosial yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berperilaku, berpakaian, dan menjalani hidup mereka. Hal ini membuat perempuan sulit untuk mencapai potensi penuh mereka dan sering kali merasa terkekang oleh ekspektasi masyarakat terhadap mereka. Namun, dengan semakin banyaknya perempuan yang menyadari pentingnya independensi dan kebebasan dalam hidup mereka, gerakan untuk menumpas budaya patriarki semakin berkembang. Perempuan mulai memperjuangkan hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki agar mereka dapat bekerja dalam profesi yang sebelumnya dianggap sebagai milik laki-laki semara serta untuk memiliki kendali atas tubuh dan kehidupan mereka sendiri.
Seperti yang tertulis dalam buku The Alpha Girl’s Guide (2020), Henry Manampiring menjelaskan bahwa perempuan yang independen memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik untuk diri mereka sendiri tanpa harus bergelantungan pada pihak lain. Perempuan memiliki hak untuk mengejar impian mereka, mengembangkan bakat dan minat mereka, serta berkontribusi secara positif dalam masyarakat. Dengan menjadi independen, perempuan dapat meraih kehidupan yang lebih bermakna dan dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya.
Untuk menumpas budaya patriarki memang tidak mudah, perlu dilakukan pembangunan yang mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sehingga perempuan dianggap sebagai manusia yang memiliki hak yang setara dengan laki-laki dan memiliki kesempatan besar untuk meneruskan pendidikan maupun mengembangkan bakat serta kemampuan yang mereka miliki.
Editor: Muhammad Fahri Novarian