Aida Fitri Nurul Khadijah | Klandestin | Bimbingan dan Konseling (2021)
Indera manusia, indera penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman, dan peraba yang telah ada sejak awal mula terciptanya manusia, kemudian tibalah warna yang menjadi bagian kehidupan manusia sejak lahir. Mata sebagai indera penglihatan merupakan bagian tubuh pertama manusia yang mampu melihat dan memproses sinyal warna yang kemudian membuat manusia—sebagai pemakna warna—dapat memahami warna dimulai dari mengenali nama warna itu sendiri.
Di lain sisi, isu asosiasi warna dalam masyarakat menjadi salah satu pengamatan acak saya yang sering muncul tanpa permisi, entah karena gaya belajar saya adalah visual atau karena terlanjur lekat dengan pekerjaan yang melibatkan desain dan mewarna. Namun, satu yang pasti, pengamatan saya menangkap bahwa dengan warna seseorang dapat berkomunikasi, bahkan tanpa harus menggunakan tulisan dan kata-kata terlebih dahulu. Warna dapat berbicara dan menjadi alternatif dalam berkomunikasi.
Erica L. Bradfield dalam artikelnya berjudul The Diversity of Color: an Analysis of Cross-cultural Color Symbolism (2014) mengutip bahwa semua manusia melakukan penilaian spontan tentang seseorang, lingkungan, atau barang dalam sembilan puluh detik dari pandangan awal dan bahwa antara 62–90 persen dari penilaian spontan tersebut didasari pada warna. Data tersebut menjelaskan keterlibatan warna dalam keseharian manusia sangat mustahil untuk diabaikan.
Penggunaan warna sebagai alat komunikasi juga membuka peluang untuk mengatasi batasan dalam dunia bahasa, terutama dalam konteks umum ketika budaya. Seperti pada penampakan bunga mawar yang berwarna merah dapat dengan cepat ditangkap sebagai ungkapan perasaan kasih sayang kan? Karena warna merah telah dianggap melambangkan gairah dan romansa. Pemaknaan tersebut adalah contoh bagaimana elemen visual, seperti warna dapat menjadi sebuah bahasa universal yang dapat dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat.
Dalam salah satu penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Arief Budiman, ahli psikologi warna dari Universitas Indonesia ini mengungkapkan bahwa warna dapat memengaruhi suasana hati, emosi, dan perilaku manusia. Misalnya, warna kuning dikaitkan dengan makna keceriaan, kebahagiaan, dan optimisme karena dapat meningkatkan energi dan membangkitkan semangat. Dengan demikian, kuning sering kali digunakan dalam desain interior untuk menciptakan suasana yang menyenangkan, misalnya pada ruangan taman kanak-kanak. Sementara itu, hijau sering dikaitkan dengan kesehatan, kesegaran, dan alam. Oleh karena itu, hijau sering digunakan untuk obat herbal dan perawatan kulit berbahan alami.
Selain pengelompokan makna berdasarkan warna tunggal, kombinasi warna juga dapat mengubah emosi dan persepsi. Misalnya, kombinasi merah dan kuning sering dikaitkan dengan semangat dan kegairahan, seperti yang terlihat dalam logo-logo beberapa perusahaan makanan cepat saji. Walaupun demikian, terlepas dari daya terima indera manusia terhadap reaksi warna hampir sama, sejatinya setiap individu memiliki interpretasi yang berbeda dari makna warna karena mengikuti ke mana budayanya berkiblat. Beberapa warna mengandung makna yang sama di budaya yang berbeda dan beberapa warna yang sama memiliki makna berbeda di budaya yang mirip. Asosiasi kultural warna memungkinkan kita untuk menjelajahi bagaimana warna memiliki makna dan simbolisme yang bervariasi di berbagai budaya.
Setelah memaknai warna dari persepsi psikologis dan implementasi dalam berbagai aspek, mari kita lihat bagaimana budaya memengaruhi pemaknaan warna dalam suatu unsur yang sama. Misalnya di negara barat, penyebutan kata lies atau bohong dengan penambahan nama warna, akan menggeser pemaknaan kata bohong tersebut. Menurut Bryant dalam penelitiannya pada tahun 2008 yang dimuat dalam jurnal Kaleidoscope: A Graduate Journal of Qualitative Communication Research, white lies atau kebohongan putih bermakna kebohongan yang dilakukan demi kebaikan seseorang atau sesuatu. Gray lies atau kebohongan abu-abu memiliki tujuan makna yang merujuk kepada kepentingan orang lain maupun untuk diri kita sendiri. Lalu, terdapat black lies atau kebohongan hitam yang bermakna akan keegoisan semata, sedangkan red lies atau kebohongan merah bermakna dendam dan pembalasan.
Hal yang dapat digaris bawahi dari teori Four Color of Lies adalah penggunaan makna warna yang berpeluang memiliki keterlibatan secara emosional dan psikologis. Ini juga yang secara teori terhubung dengan buku fiksi karya C.J. Lyon berjudul The Color of Lies (2018). Buku fiksi ini setidaknya dapat menjelaskan pemaknaan warna di dalam setiap alurnya. Tokoh utama, Ella Cleary, terlahir di keluarga yang mengidap kondisi medis langka dengan sebutan ‘sinestesia’ yang dapat mengganggu inderanya. Kelainan Ella sendiri diwujudkan sebagai kemampuan untuk melihat warna yang mengungkapkan emosi seseorang yang sebenarnya. Ella bertemu dengan Alec, seorang pria yang tidak bisa dia lihat “warna” emosinya. Ditambah ragam misteri membumbui alur cerita. Film ini berusaha menunjukkan bahwa memberikan makna berupa emosi dapat divisualisasikan dengan warna.
Pada dunia hiburan, kita sebenarnya juga dapat memperhatikan kembali bagaimana budaya yang tercipta dalam industri film dapat memberi pemaknaan terhadap warna. Salah satu contohnya adalah saat produser film membuat kartun dengan dominan warna gelap seperti hitam, ungu tua, dan coklat untuk tokoh antagonis, sedangkan warna dominan terang, seperti putih, merah muda, kuning untuk tokoh protagonis. Penggunaan ini cukup kompleks di seluruh unsur visual film, baik warna interior di lingkungan tokoh, warna baju tokoh hingga atribut yang dibawanya sehingga makna warna untuk labelling karakter tokoh secara konsisten dapat dipahami para penonton di segala usia, bahkan bagi anak-anak yang memiliki pemikiran sederhana sekalipun.
Film kartun juga sesekali menampilkan kentut dengan warna hijau. Aneh tapi nyata, secara serentak semua produser film menyepakati bahwa animasi asap berwarna hijau bermakna wewangian tidak sedap yang kemudian penonton percayai demikian pula adanya. Hal ini merupakan contoh bagaimana warna dapat menjadi bahasa universal yang dapat dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat, tentu setelah mereka setidaknya menonton beberapa film yang menampilkan hal serupa untuk kemudian diakuinya budaya warna tersebut.
Dalam budaya yang lebih universal, kita dapat menemukan banyak pemaknaan yang serupa terhadap budaya suatu warna seperti percontohan di dunia industri film kartun. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya ketiadaan perbedaan budaya yang dapat memengaruhi makna dan pesan pada warna. Beberapa sangat mungkin untuk memiliki makna berlawanan.
Warna yang mengalami perubahan pesan paling mencolok pada beberapa budaya di suatu negara adalah warna kuning. Jurnal Human Communications Studies (1986) mempublikasikan artikel Kenji Kitao dan S. Kathleen Kitao berjudul A Study Of Color Association Differences Between Americans and Japanese, menjelaskan perbedaan dua budaya secara spesifik. Mereka menyatakan bahwa orang Amerika dan Jepang tidak selalu menggunakan istilah warna yang sama untuk objek atau makna yang sama, sedangkan makna warna yang sama di antara dua budaya negara tersebut dicontohkan oleh warna ungu. Ungu (Purple atau murasaki) dimaknai sebagai royalti di kedua budaya. Penggunaannya seperti “Murasaki no kumo” yang berarti istana kekaisaran dan “He was born to the purple” yang artinya dia lahir dari keluarga bangsawan. Makna yang sama, tetapi berasal dari warna yang berbeda juga ditunjukkan pada warna kuning dan biru.
Kuning dalam bahasa Inggris dikonotasikan sebagai pengecut, sedangkan kuning dalam bahasa Jepang tidak memiliki konotasi tertentu. Biru dalam budaya Amerika mempunyai konotasi ketidaksenonohan, sedangkan dalam budaya Jepang, warna merah muda merupakan warna yang mempunyai konotasi tersebut. Ketidaksenonohan disimbolkan dengan warna berbeda di kedua budaya. Pinku no firumu dalam bahasa Jepang dan A blue film dalam bahasa Inggris. Dalam budaya dan bahasa Indonesia, keduanya bermakna film yang tidak senonoh.
Makna warna akan terus berkembang seiring dengan akumulasi pengalaman budaya dalam mengaitkan warna dengan konteks sosial dan emosional. Budaya manusia memiliki peran penting dalam menentukan makna yang diinterpretasikan dengan warna. Akumulasi pengalaman memainkan peran penting dalam membentuk memori visual atau makna yang terkait dengan warna. Semakin banyak pengalaman berbudaya yang dimiliki terkait sebuah warna, semakin kompleks dan bermakna pula pengalaman warna yang dapat kita rasakan dan percayai sebagai makna tersirat.
Editor: Annisa Deli Indriyanti