Address
Jl. Rawamangun Muka, Pulo Gadung, Jakarta Timur, DKI Jakarta – 13220
Phone

Nasib Nyai di Rumahnya Sendiri


Salsabila Azahra | Eunopia | Sastra Indonesia (2022)

 

Ratusan tahun bangsa Eropa menduduki Indonesia menyebabkan begitu banyak cerita dan sejarah bagi masa yang akan datang. Dalam pandangan saya saat masih kanak-kanak ketika mendengar penjajahan bangsa Eropa, terutama Belanda adalah peperangan dengan ledakan dan tembakan di mana-mana. Seiring bertambahnya usia, saya baru menyadari bahwa penjajahan bangsa Eropa lebih dari sekadar ledakan, tetapi juga memasuki kehidupan sosial pribumi. Kisah pergundikan menjadi salah satunya.

Pergundikan pada zaman Kolonial Belanda bukan lagi rahasia yang harus ditutup rapat-rapat. Pada saat itu, banyak orang tua pribumi yang rela anak perempuannya dijadikan gundik oleh tuan-tuan Eropa. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut dapat melepaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan status sosial. Dapat dipastikan hubungan antara gundik dan tuannya bukanlah atas dasar cinta, melainkan hanya sebatas melayani dan dilayani. Sejatinya pergundikan ini sama halnya dengan perbudakan. Pemerintah Hindia Belanda mewajibkan penghapusan perbudakan pada tahun 1860, tetapi praktek perbudakan ini, termasuk gundik masih berlanjut hingga abad ke-20. Perempuan pribumi yang dijadikan gundik biasa dipanggil Nyai. Pada saat itu, sebutan tersebut berkonotasi negatif karena pandangan masyarakat terhadap gundik yang juga negatif.

Dalam buku Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer, Minke—seorang pribumi—dicemooh habis-habisan oleh teman sekolahnya karena ketahuan tinggal di rumah Nyai Ontosoroh. Ia seorang gundik yang cerdas dalam berbisnis, bisa membaca dan menulis serta memiliki pemikiran yang modern, tetapi tetap dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Minke pun tidak diakui oleh ayahandanya yang seorang bupati karena ia masih berhubungan dengan Nyai tersebut.

Dalam cerita-cerita tentang pergundikan zaman Hindia Belanda, seorang Nyai biasanya tidak disukai oleh istri pertama dari tuannya tersebut. Mereka menganggap Nyai tidaklah lebih dari seorang budak yang memiliki keistimewaan dapat melahirkan anak suaminya. Anak-anak suaminya dengan seorang Nyai pun dianggap buruk. Anak yang seharusnya tidak tahu menahu jadi ikut terkena getahnya karena perbudakan dengan dalih gundik ini. Lain lagi dengan cerita Nyai Imah dalam cerpen Racun untuk Tuan pada antologi cerpen Semua untuk Hindia (2014) karya Iksana Banu. Nyai Imah tidak dibenci oleh istri pertama tuan Belanda karena memang tuan tersebut belum beristri, tetapi tetap tidak menjadikan Nyai Imah sebagai istri pertama. Ketika tuannya ingin menikahkan perempuan Belanda secara sah, Nyai Imah ditinggalkan begitu saja.

Perkawinan tidak tercatat antara lelaki Eropa dengan perempuan pribumi ini memiliki dampak yang begitu besar terhadap anak dan keturunannya. Sebelum membahas kedukaan yang dirasakan keturunan Eropa-Pribumi saat itu, saya akan menjelaskan mengenai penyebutan darah keturunan di Hindia Belanda. Tineke Hellwig menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007), orang Eropa murni—yang dimaksudkan di sini adalah orang yang kedua orang tuanya benar-benar berdarah Eropa—mendapat sebutan Totok. Selanjutnya, seperti yang diketahui umum sebutan Pribumi digunakan untuk orang asli Nusantara, sedangkan keturunan dari lelaki Belanda dan perempuan pribumi disebut dengan Indo. Penyebutan bagi keturunan lelaki Belanda dan perempuan pribumi jika disebut di Indonesia pada zaman sekarang memang memiliki makna lain. Saat ini kata Indo lebih mengacu pada penyingkatan nama Indonesia. Namun, sebelum nama Indonesia digunakan di negara ini, kata tersebut mengacu pada penyebutan bagi orang berdarah campuran (Eropa-Hindia).

Saat itu, Hindia Belanda yang dikuasai oleh bangsa Eropa, jelas sekali menganut paham supremasi kulit putih. Oleh karena itu, sebagai totok pastilah mendapat banyak sekali keuntungan dan keistimewaan, seperti memperoleh hak untuk menempuh pendidikan yang layak. Pribumi sebagai bangsa yang dijajah tidak mendapatkan keuntungan dan keistimewaan selayaknya totok. Namun, lain lagi dengan indo. Mereka berada di antara totok dan pribumi. Indo mendapatkan haknya untuk menempuh pendidikan, tetapi dianggap lebih rendah dari totok. Perkawinan antara lelaki Belanda dan gundik dari pribumi tidak dicatat oleh negara. Oleh sebab itu, indo sering kali dianggap sebagai anak yang lahir di luar pernikahan yang sah.

Masalah lain juga hadir jika lelaki Belanda tersebut tidak mengakui anaknya dengan seorang gundik pribumi. Indo tidak akan mendapat hak harta warisannya dan mengalami penghinaan sebagai pribumi serta anak yang lahir di luar pernikahan. Sedikit menguntungkan memang jika mereka diakui oleh sang ayah yang berdarah Belanda, mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih baik daripada pribumi. Namun, ibu mereka yang seorang pribumi tidak mendapatkan hak apa pun terhadap anaknya jika anak tersebut masih di bawah umur.

Kembali lagi dengan buku Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer, digambarkan dua orang Indo yang tidak mengakui darah pribumi yang mengalir dalam dirinya dan selalu menganggap rendah pribumi lain. Mereka membanggakan bangsa Eropa dan menganggap kulit putih di atas segalanya. Pendudukan Belanda di Hindia dapat menjadi faktor dua orang Indo dalam buku Bumi Manusia memiliki pemikiran seperti itu.

Kolonialisasi bangsa Eropa saat itu menimbulkan suatu pemikiran, yaitu tidak menganggap pribumi dan totok sebagai manusia yang setara. Pada zaman itu kebanyakan orang melihat dari segi fisik. Bangsa Eropa yang memiliki kulit putih dan tubuh tinggi menganggap pribumi yang pada dasarnya berkulit sawo matang dan tubuh tidak terlalu tinggi berada di bawahnya. Lagi pula, Nusantara yang saat itu dikuasai oleh bangsa asing membuat pribumi semakin tidak dapat bergerak bebas di tanahnya sendiri. Oleh sebab itu, perempuan pribumi dijadikan gundik, diperlakukan semena-mena, dan dianggap rendah oleh tuan-tuan Belanda di Hindia.

 

Editor: Hanifah Azizah