Annisa Deli Indriyanti | Eunopia | Sastra Indonesia (2022)
Hidup di zaman modern ini sulit-sulit mudah. Ada teknologi yang mempermudah, ada juga pergeseran nilai moral yang bertumpah ruah. Teknologi menyatakan kalau segala sesuatu itu menjadi tanpa ada batasan alias lancar jaya. Namun, para nenek moyang memberi wejangan kalau hidup itu harus memiliki batasan. Batasan yang dimaksud adalah batasan hidup. Batasan hidup bisa tercipta dari mana saja, seperti diri sendiri, norma, keluarga, faktor lingkungan, dan yang paling utama ialah sebuah kepercayaan atau agama. Apa pun kepercayaan dan agamanya, mestinya hal itu mengajarkan mengenai batasan hidup.
Salah satu bukti yang memperkuat wejangan nenek moyang itu tertuang dan tercatat dalam kitab suci Al-Qur’an, tepatnya pada surat Al-Maidah ayat 87 yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Surat dalam kitab suci agama Islam ini memperkuat bahwa segala sesuatu yang berlebihan tidaklah baik bagi keberlangsungan hidup dan hanya akan merugikan diri. Pada dasarnya, agama mengajarkan seluruh umatnya untuk hidup secukupnya saja, baik untuk individu maupun orang lain. Dengan demikian, diperlukan batasan untuk mengiringi jalannya kehidupan manusia.
Kembali kepada perkembangan zaman dan teknologi, robohnya dinding batasan dalam hidup pada akhir-akhir ini bukannya menimbulkan keefektifan hidup, melainkan menimbulkan permasalahan kontemporer yang kompleks. Biasnya batasan antara hidup, kebudayaan, dan agama sangat berdampak kepada keberlangsungan hidup, baik individu, kelompok, bahkan negara. Entah manusia yang tidak bisa mengontrol teknologi atau teknologi yang bisa mengontrol manusia, tetapi inilah kemirisan yang tengah terjadi di sela-sela sisi kehidupan. Sedihnya, permasalahan kontemporer ini seakan dibuat buta oleh kemajuan teknologi dan ambisi ekonomi hingga dapat menggerus eksistensi agama.
Begitu banyak penggunaan agama yang digunakan oleh kepentingan golongan saja. Liciknya, mereka bisa menggiring semua orang untuk melihatnya sebagai sebuah hal yang wajar. Satu hal yang pasti, oknum yang melakukan hal ini adalah mereka yang ingin mencari buah-buah keuntungan bagi kesuburan ladang ekonominya. Entah karena tidak laku atau memang kehabisan akal, mereka dengan mudah menarik agama sebagai fondasi keuntungan mereka. Lebih sedih dan pahitnya lagi, banyak dari mereka yang turut membangun ladang ekonominya, bahkan mereka yang tak terlibat secara langsung dengan bisnis licin dan ternoda tersebut.
Hiburan dan Ajang Pengingat
Indonesia adalah salah satu negara Asia Tenggara dengan penganut agama yang beragam. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki berbagai kelebihannya tersendiri. Tak perlu membahas satu-satu apa saja privilese yang dimiliki, rasanya semua yang menempati posisi mayoritas akan tahu bagaimana keistimewaan itu berjalan. Namun, akhir-akhir ini banyak yang menjadikan dominansi agama Islam tersebut sebagai tempat licin untuk mencari keuntungan bagi perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, terutama dalam industri perfilman.
Eksistensi dunia perfilman di Indonesia pada saat ini memang tengah berkembang pesat. Sutradara, rumah produksi, dan bioskop berlomba-lomba untuk merilis karya-karya sinematografinya. Hal ini juga disambut hangat oleh rakyat Indonesia yang dengan senang hati akan mengeluarkan uangnya hanya untuk menonton film-film tersebut. Melalui uang yang kurang lebih bernilai Rp40.000, simbiosis keuntungan pun telah terjadi. Eksistensi film di Indonesia juga tengah meningkat pesat pada salah satu genre film horor.
Sebut saja Joko Anwar, salah satu sutradara kenamaan Indonesia yang berhasil meraih keuntungan dan momen eksis berkat karya sinematografinya yang berjudul Pengabdi Setan (2017). Walau film ini berupa remake, nyatanya film ini berhasil meraih banyak perhatian hingga puluhan juta lebih penonton, bahkan Pengabdi Setan (2017) sendiri juga berhasil rilis di kancah dunia internasional. Memang sudah lama Indonesia mengangkat film bergenre horor yang turut menyeret agama sebagai alat untuk selalu berada di jalan Tuhan, tetapi Pengabdi Setan (2017) juga berhasil melahirkan inspirasi bagi para sutradara untuk mengangkat isu agama sebagai bagian dari genre horor.
Sesuatu yang berlebihan tidaklah baik. Sayangnya dominansi genre film horor yang membawa agama ini sudah menapak menjadi suatu hal yang mengganggu beberapa umat agama, terutama mereka yang beragama Islam. Para pelaku industri film sudah merambah hingga merusak keesaan Tuhan mereka. Berawal sebagai hiburan dan pengingat bagi mereka untuk selalu takut kepada Tuhan, justru merekalah yang menjadi takut kepada sosok hantu yang divisualisasikan dalam film horor hingga hubungan mereka dengan Tuhan-Nya pun akan semakin berjarak.
Tema, isu, poster, dan teaser, semuanya mengacu kepada bagaimana sosok makhluk halus akan menyerang manusia di kala tengah beribadah. Tidak hanya itu, perjanjian-perjanjian antara manusia dengan makhluk halus juga turut menjadi bumbu dalam perfilman Indonesia. Namun, keberadaan makhluk halus dengan wajah seram yang sering muncul ketika manusia tengah beribadah membuat iman mereka yang menonton pun turut terganggu. Fenomena inilah yang membuat agama menjadi sebuah produk untuk dipasarkan.
Tengah Dipasarkan
Berkaca dari banyaknya fenomena pembuatan atau perilisan film yang membawa unsur agama, terutama agama Islam, telah berhasil memundurkan pola pikir mereka ke zaman kebodohan. Mereka yang menganggap itu hanya sebuah hiburan atau itu bisa menjadi sebuah alat agar kita lebih dekat dengan Yang Maha Kuasa adalah buah kesuksesan para pelaku industri. Agama seolah dijadikan fondasi macam tidak ada batasan yang mengesahkan.
Film atau karya sinematografi yang mengolaborasikan antara horor dengan nilai agama menjadikan agama tidak utuh, bahkan agama serasa dijual untuk kepentingan pribadi tertentu. Hal ini menghilangkan esensi bahwa agama adalah kebutuhan rohani bagi para pengikutnya. Salah penafsiran akan ranah agama juga menjadi dampak paling fatal yang dimunculkan olehnya.
Screenwriter wanita kenamaan Indonesia, Gina S. Noer pernah menyampaikan pendapat dan kritiknya ketika salah satu film horor Indonesia, Kiblat (2024) yang lagi-lagi membawa kesakralan agama merilis posternya yang sangat fenomenal. Melalui unggahan story-nya, Gina menuliskan, “… dengan kebanyakan horor Indonesia yang temanya agama saat ini adalah sudah masuk ke ranah eksploitasi agama.” Gina juga mengatakan bahwa penggunaan ibadah salat, doa, dan zikir telah menjadi plot devices murahan karena digunakan sebagai alat jumpscare di dalamnya. Kembali menambahkan, ia juga menyatakan banyaknya film dengan tema dan genre tersebut akan mengganggu keimanan seseorang, mengingat tidak semua orang memiliki akses literasi keagamaan yang sama rata.
Pernyataan Gina tersebut merupakan kritik yang membangun untuk menyadarkan para pembuat karya sinematografi agar lebih bijaksana lagi ketika ingin membuat film. Hal ini dilakukan agar masyarakat pun tidak terkena pembodohan akan eksploitasi agama yang ditayangkan. Pernyataan sang screenwriter dan filmmaker di atas juga membuka mata kita untuk mengetahui atau menyadari lebih dalam bahwa agama Islam di Indonesia tengah mengalami komodifikasi.
Dalam jurnal yang berjudul Komodifikasi Agama: Pergeseran Praktik Bisnis dan Muncul Kelas Menengah Muslim menyebutkan komodifikasi agama adalah perubahan nilai agama sebagai pedoman hidup menjadi sebuah nilai tukar. Jurnal yang meneliti industri 1.0 sampai 3.0 ini juga menyatakan bahwa komodifikasi agama mengurangi nilai kesakralan sebuah agama. Pernyataan ini semakin menguatkan bahwa komodifikasi agama adalah sebuah perubahan nilai agama menjadi sebuah nilai komersial sehingga dapat mengurangi, bahkan menghilangkan nilai spiritualitas yang ada di dalam agama.
Hal inilah yang tengah terjadi di Indonesia belakangan ini. Memang sangat banyak penonton yang menikmati film dengan genre tersebut serta laku di pasaran, tetapi banyak juga para penikmat film tersebut telah membeli agama mereka sendiri hanya untuk sebuah hiburan duniawi semata. Perubahan nilai yang tadinya sebagai pengingat kesadaran spiritualitas penonton berubah menjadi nilai dagang atau komersial untuk menguntungkan pihak tertentu. Dampak lain yang sering terlupakan oleh mereka adalah bahwa apa yang mereka buat dan tonton adalah sebuah dosa karena telah mempermainkan sebuah kepercayaan dan Tuhan.
Tameng Segalanya
Linda Christanty dalam tulisannya yang berjudul “Adakah Pelangi dalam Islam” dalam buku Dari Jawa Menuju Atjeh (2009) menceritakan salah satu mantan santriwati menemukan buku karya Fatima Mernissi yang membahas bahwa jilbab adalah sebuah kepentingan politis. Karya tulis liputannya tersebut menjelaskan bahwa jilbab yang merupakan pakaian untuk menutup aurat wanita memang sebuah kewajiban dalam Islam, tetapi di dunia sekarang ini jilbab justru menjadi alat politik untuk memenangkan sebuah kedudukan. Rasul dan Al-Qur’an menyuruh mereka memakai jilbab atau menutup auratnya, jika hatinya memang sudah menginginkannya. Namun, dunia yang keras justru menyudutkan wanita untuk mengenakannya dengan tujuan tertentu.
Mengutip dari sindonews.com, awalnya hijab dan jilbab memang digunakan untuk melawan otoriter pemerintahan di Turki yang antihijab. Namun, di Turki sekarang, banyak yang mengaku mereka akan kalah di dunia politik jika tidak mengenakan hijab. Di sisi lain, hijab memang menguntungkan untuk melawan kekejaman pelarangan memakai hijab atau menutup aurat bagi kaum hawa, tetapi di lain sisinya kain yang menutup aurat tersebut justru menjadi alat politik untuk memenangkan kursi politik ataupun menarik perhatian masyarakat untuk yakin memilihnya.
Tak perlu jauh-jauh ke Turki, di Indonesia sendiri sudah tak asing lagi apabila agama digunakan sebagai alat propaganda dalam bidang tertentu. Sebut saja ketika pemilihan umum atau pemilihan gubernur berlangsung. Tanpa menyebutkan identitas, pada saat itu para calon pemimpin negara serta provinsi saling berlomba-lomba untuk membawa agama saat berkampanye. Sayangnya, agama tersebut hanya dibawa untuk memperoleh suara saja. Hal yang menyedihkannya adalah mereka membawa agama mayoritas di Indonesia tidak hanya berdampak untuk memperoleh suara tertinggi saja, tetapi juga berdampak dalam memperkeruh toleransi keberagaman agama di Indonesia.
Sama halnya dengan komodifikasi agama yang dituangkan dalam bentuk film. Agama juga dijadikan tameng untuk mengangkat popularitas dan nilai keuntungan bagi beberapa pihak. Sudah sejak lama, agama memang digunakan sebagai perlindungan akan suatu hal yang menyimpang, bahkan sejak zaman Rasul. Tidak lain penyebab penyimpangan terhadap agama ini banyak disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kesalahan penafsiran mengenai pemahaman agama serta rusaknya pembatasan kehidupan dunia dan akhirat.
Editor: Fritz Andrew Lie
Referensi
Christanty, L. (2009). Dari Jawa Menuju Atjeh: Kumpulan Tulisan tentang Politik, Islam, dan Gay. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
detikhikmah. (n.d.). Tafsir Quran Surat Al-Ma’idah Ayat 87. Diakses pada Maret 23, 2024, dari detik.com: https://www.detik.com/hikmah/quran-online/al-maidah/tafsir-ayat-87-756
Husna, A. (2018). Komodifikasi agama: Pergeseran praktik bisnis dan kemunculan kelas menengah muslim. Jurnal Komunikasi Global, 7(2), 227-239.
Yusufpati, M. H. (2023, Mei 31). Ketika Jilbab Dianggap Bisa Memengaruhi Politik Turki. Diambil dari Maret 30, 2024, dari sindonews.com: https://kalam.sindonews.com/read/1113911/786/ketika-jilbab-dianggap-bisa-memengaruhi-politik-turki-1685527536