Address
Jl. Rawamangun Muka, Pulo Gadung, Jakarta Timur, DKI Jakarta – 13220
Phone

Sengkarut Pendanaan Program Kerja Mahasiswa


Hilal Wildan Ainun Nizam | Eunopia | Pendidikan Bahasa Arab (2022)

Kampus adalah tempat di mana mahasiswa tidak hanya belajar, tetapi juga mengembangkan diri melalui berbagai kegiatan di luar kurikulum akademis. Kegiatan di luar kurikulum biasanya berupa kegiatan yang berasal dari Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dan Organisasi Pemerintahan Mahasiswa (Opmawa). Seluruh kegiatan ini diselenggarakan bukan hanya untuk mencapai tridharma perguruan tinggi, tetapi juga untuk sesuatu yang lebih korporat, yaitu meningkatkan nilai jual kampus dan meraih predikat ‘kelas dunia’ seperti yang ditekankan pemerintah.

Untuk mencapai hal itu, kampus tentunya memerlukan dana yang tak sedikit. Dana yang didapat oleh kampus biasanya berasal dari bantuan pemerintah, pihak swasta, dan biaya studi mahasiswa, meskipun saat ini pemerintah sendiri telah menuntut kampus untuk memiliki sumber pendanaan yang mandiri. Selain modal yang banyak, kampus juga memerlukan tenaga kerja yang cukup untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan. Di sini, peran mahasiswa menjadi krusial karena sebagai anggota Ormawa atau Opmawa, mahasiswa diminta untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tersebut entah sebagai rekomendasi atau kewajiban dari pihak kampus. Sayangnya, pembebanan tanggung jawab ini tidak disertai dengan pendanaan yang memadai.

Mengenai pembiayaan kegiatan di kampus, mahasiswa kerap kali dihadapkan dengan berbagai kesulitan. Sebagai contoh, kegiatan perlombaan dan webinar yang diadakan oleh Opmawa. Dana yang ada biasanya ditujukan banyak keperluan, mulai dari membayar juri atau pemateri, membeli hadiah, menyiapkan konsumsi dan menyewa tempat jika diadakan secara luring, serta berbagai hal lain yang diperlukan. Itu pun untuk satu program kerja saja, belum ditambah dengan kegiatan-kegiatan lain yang juga memerlukan banyak biaya, seperti upacara perekrutan anggota, studi wisata, dan lainya. Tidak heran jika sebagian besar organisasi memiliki divisi khusus untuk mengelola keuangan dan mencari sumber-sumber keuangan.

Lalu bukankah hal tersebut bagus karena bisa menumbuhkan jiwa kewirausahaan mahasiswa? Tentu saja hal itu benar karena mahasiswa dapat belajar mengenai sistem kerja kepanitiaan, pengelolaan anggaran, dan sebagainya. Dan bohong jika mengatakan kalau ia tidak memberi dampak positif semacam itu, tetapi kita juga tidak bisa mengabaikan sisi negatif yang muncul bersamaan dengannya. Keterbatasan dana untuk menyelenggarakan kegiatan dari kampus bisa saja berujung dengan eksploitasi pada mahasiswa jika tidak ditangani dengan baik. Mahasiswa akan berusaha keras mencari sponsor yang bisa mendanai mereka, mencari donatur yang secara sukarela ingin menyumbangkan sedikit uang mereka, bekerja sambilan, dan danusan.

Jika sudah mentok, maka mahasiswa akan menggunakan uang mereka sendiri untuk membiayai kegiatan tersebut. Memang terkadang bantuan keuangan dari kampus tidak memadai dan mengharuskan mahasiswa memutar otaknya. Sebagai catatan, bukan berarti melakukan hal-hal seperti di atas itu buruk. Namun, dalam beberapa kasus, itu bukanlah solusi. Mari kita coba amati contoh berikut KKN atau KKL merupakan kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa. Sebelum kegiatan tersebut dilaksanakan, mahasiswa akan mengumpulkan sejumlah besar uang yang nantinya akan dipakai untuk mendanai kegiatan KKN atau KKL. Mungkin berpikir kalau mahasiswa menggunakan uangnya sendiri untuk kepentingan studinya adalah hal yang wajar, tetapi akan aneh jika kita menyadari bahwa kita seharusnya tidak perlu melakukannya karena kita sudah membayar UKT.

Lalu mungkin sebagian mahasiswa akan berpikir dan bertanya-tanya ke manakah perginya UKT yang telah diberikan hingga mahasiswa masih perlu membayar untuk KKN atau KKL. Maka jawabannya karena hal tersebut ada dalam peraturan yang diterbitkan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada tahun 2017. Di dalam Peraturan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) nomor 39 pasal 7 ayat 1 tahun 2017 menyebutkan bahwa biaya KKN, termasuk KKL, tidak lagi ditanggung oleh UKT. Alasannya? entah mungkin untuk menguji daya keuangan mahasiswa.

Pasal 7
(1) PTN tidak menanggung biaya mahasiswa yang terdiri atas:
a. biaya yang bersifat pribadi;
b. biaya pelaksanaan kuliah kerja nyata;
c. biaya asrama; dan
d. kegiatan pembelajaran dan penelitian yang dilaksanakan secara mandiri.
Sumber: Permenristekdikti nomor 39 tahun 2017

Meskipun untuk keperluan studi, pelaksanaan KKN atau KKL nyatanya memiliki celah-celah yang bisa digunakan untuk menguras dompet mahasiswa. Tentu hal ini bisa terjadi karena tidak adanya peraturan yang jelas mengenai pembiayaan KKN atau KKL. Selain itu, masih ada contoh lain dari kegiatan kampus yang memiliki kecenderungan yang sama dan bahkan di antaranya tidak berkaitan dengan studi mahasiswa, misalnya saja program kerja BEM yang diberikan oleh prodi. Seperti yang kita ketahui, untuk menjaga akreditasinya, prodi telah mewajibkan mahasiswa Opmawa untuk menjalankan suatu kegiatan tertentu. Kegiatan ini kemudian dimasukkan ke dalam rangkaian program kerja mereka. Meskipun begitu, tak jarang program kerja yang dibebankan ini tidak disertai dengan pendanaan yang cukup dan berakibat membebani mahasiswa.

Untuk menyiasati kekurangan dana, mahasiswa secara turun temurun telah memiliki opsi-opsi jitu yang bisa digunakan di berbagai kesempatan. Adapun opsi paling populer yang dipakai oleh mahasiswa tak lain adalah dengan berdanus atau danusan. Danusan bisa dibilang cukup ampuh untuk menarik pundi-pundi uang. Dengan danusan, mahasiswa juga belajar berwiraswasta. Memang ada banyak manfaat yang bisa didapat dari danusan, tetapi kita juga perlu memperhatikan dampak lain yang timbul bersamaan dengannya.

Saat ini, perkuliahan tidak sepenuhnya dilakukan secara tatap muka. Dengan begitu, kelas bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Hal ini sebenarnya merupakan mimpi indah bagi mahasiswa yang memiliki kesibukan lain selain kuliah, termasuk para mahasiswa pencari cuan. Saat kegiatan perkuliahan dilakukan secara daring melalui ruang maya zoom, demi mengumpulkan dana yang cukup untuk melaksanakan program kerja organisasinya, mahasiswa akan menyambi dengan danusan selama mereka bisa. Akibatnya, waktu kuliah mahasiswa menjadi terganggu. Belum lagi jika kita menghitung jumlah dari biaya transportasi, internet, dan konsumsi masing-masing mahasiswa yang adakalanya tidak sebanding dengan hasil danus.

Setelah semua ‘keributan’ yang telah disampaikan, seharusnya ada sebuah pertanyaan yang telah terlintas di dalam pikiran kita. Dengan biaya yang begitu besar, mengapa kampus tidak memberi dana yang cukup untuk kegiatan kemahasiswaan mereka. Jawabannya sederhana, yaitu karena kampus sendiri sedang kekurangan dana. Kampus memang memiliki dana, termasuk dari UKT, tetapi dana yang ada terbagi-bagi untuk bermacam keperluan, mulai dari biaya operasional kampus hingga gaji dosen dan tenaga kerja. Ini berakibat pada minimnya anggaran yang ditujukan khusus untuk mahasiswa. Dikutip dari kompas.com, menurut Mendikbud, Nadiem Makarim, agar dapat bersaing di tingkat dunia, pendanaan untuk perguruan tinggi perlu ditingkatkan.

Jika dibandingkan dengan negara lain, rata-rata pengeluaran perguruan tinggi untuk setiap lulusan di Indonesia sekitar USD 2.000 atau Rp28 juta (kurs Rp14.000). Padahal India sendiri mencapai USD 3.000 dengan kondisi negaranya yang seperti itu. Sedangkan, untuk negara-negara yang lebih maju seperti Singapura dapat mencapai USD 15.000. Bahkan China dan Amerika masing-masing mencapai USD 22.000 dan USD 23.000. Dilansir dari katadata.co.id, realisasi anggaran pendidikan Indonesia dalam APBN dari tahun ke tahun sedang dalam tren terus meningkat. Setidaknya sebanyak Rp133,7 triliun telah digelontorkan hingga Maret 2024, tumbuh sebanyak 12,3% dibandingkan pada Maret 2023 yang sebesar Rp 119,1 triliun. Meskipun anggaran untuk pendidikan terus meningkat, tetapi porsinya untuk perguruan tinggi masih tidak ada kejelasan. Naiknya biaya UKT adalah bukti bahwa pemerintah harus lebih serius dalam menyikapi betapa pentingnya pendidikan tinggi untuk masyarakat.

“Pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier,” ucap salah satu orang pejabat Kemendikbudristek 2024.

Di sisi lain, kampus lebih mengandalkan bantuan dari pemerintah dan biaya studi mahasiswa sebagai sumber pendanaan dibandingkan mengembangkan sumber keuangannya secara mandiri. Padahal jika ditelisik lebih jauh, ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh kampus agar memiliki sumber keuangan yang solid dan tidak lagi bergantung pada bantuan eksternal seperti dengan mengembangkan unit usaha kampus, kerja sama dengan swasta, dan pemanfaatan dana abadi. Permasalahan pendanaan di perguruan tinggi memang tampaknya akan sulit untuk dihindari, khususnya bagi mahasiswa yang berkecimpung dalam organisasi. Selain harus dibebani dengan uang kuliah yang terus membengkak, mahasiswa juga dihadapkan dengan proker-proker yang laporan keuangannya saja tidak lulus sensor.

Memang benar, selain belajar, mahasiswa memiliki kewajiban untuk ikut bertanggung jawab terhadap nilai jual kampus. Namun, bukan berarti semuanya harus dibebankan kepada mahasiswa. Hal yang wajar jika ada mahasiswa yang lebih memilih untuk fokus dalam studi mereka. Tidak aneh juga jika ada mahasiswa yang dengan sukarela menjual jiwanya untuk kegiatan-kegiatan di luar akademik. Akan tetapi, lebih baik lagi jika kampus tahu batas kemampuan mahasiswa dan tidak memandang mereka sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan. Yah, meski merepotkan, kita sebagai mahasiswa pun tetap harus ingat bahwa terdapat sisi positif dan negatif dari diadakannya program-program kampus. Kita bisa mengambil semua permasalahan yang ada dan meletakkannya di atas meja diskusi sebagai bahan dalam menilai potensi mahasiswa serta masukan bagi kampus dan pemerintah dalam menentukan kebijakannya.

Editor: Hanifah Azizah