Fritz Andrew Lie | Arutala | Psikologi (2022)
Beberapa waktu belakangan, Taylor Swift menjadi perbincangan hangat di media sosial lantaran konser dunia yang sedang berlangsung hingga saat ini, The Eras Tour, ramai dikunjungi orang-orang dari berbagai pelosok dunia dan banyak memecahkan rekor. Bukan hal yang aneh, mengingat banyaknya Swifties—sebutan untuk penggemar Taylor—dari berbagai kalangan yang menggilai wanita berambut pirang itu.
Taylor sendiri telah berkarier di dunia musik selama 18 tahun dengan merilis 11 album studio. Selama itu, Taylor membangun citranya di mata publik sebagai seseorang yang baik, ramah, dan dekat dengan penggemarnya. Dia menulis semua lagu-lagunya dengan topik yang relatable, aktif di media sosial, bahkan pernah menghadiri serta menyanyi di pernikahan penggemarnya. Branding yang dilakukannya tidak hanya berhasil menggaet orang-orang untuk mengidolakannya, tetapi juga membuat penggemarnya merasa “dekat” dengannya.
“Kedekatan” yang saya maksud di sini bukanlah kedekatan biasa. Tidak sedikit Swifties yang menganggap Taylor selayaknya sahabat dekat yang biasa mereka temui dan ajak berbincang mengenai hidup sehari-hari. Oleh sebab itu, sebagai seorang teman yang baik, Swiftie cenderung akan melakukan apa saja untuk wanita yang kerap mereka panggil sebagai “Mother” di media sosial. Salah satu contohnya adalah dengan membeli semua varian dan barang yang dijajakan dari album terbarunya semata-mata agar tidak mengecewakan Taylor. Kedekatan ini bukanlah hal yang buruk, tetapi bukan juga hal yang baik.
Kedekatan ini bisa disebut parasocial relationship atau hubungan parasosial. Berdasarkan buku karya Rebecca Tukachinsky Forster yang berjudul The Oxford Handbook of Parasocial Experiences (2023), hubungan parasosial bersifat ilusif karena koneksi yang tercipta antara seseorang dengan figur publik bersifat sepihak, nondialektis, dan tidak memungkinkan untuk perkembangan lebih lanjut. Walau begitu, ia mungkin memandang hubungan sepihaknya dengan idola sebagai hubungan yang asli dan memiliki hubungan timbal balik.
Agar lebih mudah membayangkan hubungan parasosial ini, kita bisa membayangkan anak-anak yang memiliki teman khayalan. Anak-anak yang memiliki teman khayalan menciptakan hubungan imajiner dengan karakter yang mereka buat sendiri. Mereka dapat berinteraksi, bahkan merasa dekat dengan teman khayalan mereka, seolah-olah teman khayalan tersebut adalah makhluk yang nyata. Namun, pada kenyataannya interaksi anak-anak dengan teman khayalan tidaklah nyata dan hanya terjadi dalam pikiran mereka.
Citra Sang Idola di Mata Penggemar
Ada banyak hal yang menyebabkan kedekatan semu ini dapat terwujud di antara Swifties dengan Taylor. Salah satunya adalah cara Taylor menunjukkan dirinya di mata publik. Dalam studi yang dilakukan oleh Zafina dan Sinha yang berjudul Celebrity-Fan Relationship: Studying Taylor Swift and Indonesian Swifties’ Parasocial Relationships on Social Media, dijelaskan bahwa penggemar tertarik untuk berinteraksi dengan idolanya di media sosial ketika idolanya berbagi pengalaman pribadi karena hal itu memungkinkan mereka merasakan hubungan yang lebih dalam dengan sang idola. Begitulah yang dilakukan oleh Taylor—dia terbuka mengenai jatuh bangun hidupnya.
Perlu digarisbawahi bahwa Taylor mempromosikan dirinya bukan sebagai sosok yang inspiratif, melainkan lebih sebagai sosok yang relatable. Hal tersebut ditunjukkan melalui media sosialnya, di mana dia kerap kali membagikan momen-momen bahagianya bersama teman, hewan peliharaan, dan keluarganya—sebagaimana yang orang-orang biasa juga lakukan.
Taylor pun membagikan pengalaman hidupnya melalui lagu-lagunya. Bukan hanya tentang dinamika hubungan asmaranya, Taylor menulis lagu-lagu dengan lirik yang menyoroti topik-topik yang tak hanya dirasakannya sendiri, tetapi juga topik yang dapat dirasakan oleh banyak orang, seperti perasaan tidak aman, kecemasan, kesepian, proses bertumbuh, dan masih banyak lagi. Dengan demikian, dari karya musiknya pun Taylor mampu menyentuh hati para penggemarnya.
Tak hanya sampai situ saja, Taylor juga tidak segan untuk berbagi mengenai masalah-masalah yang dialaminya, seperti kesehatan mental dan gangguan makan. Melalui film dokumenternya yang berjudul Miss Americana (2020), dia membeberkan perjuangannya dengan gangguan dismorfik tubuh dan gangguan makan, sidang kasus pelecehan seksualnya, dan cancel culture yang dialaminya pada tahun 2016. Sesuatu yang bersifat rentan dan pribadi, tetapi mampu Taylor bagikan dengan berani.
Semua itu tidak hanya membangun citra Taylor sebagai sosok yang apa adanya di mata Swifties, tetapi juga menciptakan ikatan yang kuat yang dapat mereka rasakan terhadap sang idola. Dengan memperlihatkan sisi-sisi kehidupan pribadinya, Taylor mengundang para penggemarnya untuk mengenalnya secara lebih mendalam. Penggemar jadi merasa bahwa mereka tidak hanya mengenal Taylor sebagai seorang artis, tetapi juga sebagai seorang teman yang berbagi perjuangan dan pengalaman hidup bersama mereka.
Selain keterbukaan Taylor, faktor lamanya karier Taylor sebagai musisi juga berperan dalam fenomena ini. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, Taylor telah berkarier di industri musik dan hiburan selama hampir dua dekade. Dia memulai debutnya pada tahun 2006 saat berusia 16 tahun dengan citra gadis pedesaan yang sedang mencari tempatnya di dunia ini. Setelahnya, dia mulai berkembang dalam segi musik dan citranya.
Seiring dengan evolusi Taylor tersebut, para penggemar turut merasakannya. Swifties yang menjadi responden dalam studi Zafina dan Sinha mengatakan bahwa lagu-lagu Taylor menemani perjalanan hidup mereka. Mereka pun merasa bahwa mereka tumbuh bersama dengan Taylor sampai mereka mulai melihatnya sebagai sosok sahabat ataupun kakak perempuan yang menemani dan menghibur mereka kala mereka menghadapi masa-masa sulit. Selain itu, para penggemar juga suka memanggilnya dengan panggilan canda, seperti “Mother” di media sosial lantaran musiknya yang seakan membesarkan mereka.
Tidak Sepenuhnya Baik
Tidak selamanya kedekatan semu ini bersifat baik. Tidak jarang, penggemar yang terjalin dalam kedekatan semu justru mengembangkan perasaan terikat yang berlebihan, membuat mereka rela melakukan apa saja demi mempertahankan koneksi tersebut. Dikutip dari my.clevelandclinic.org, penggemar mungkin saja mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya untuk sang idola, membuat mereka tenggelam dalam konsumerisme. Dalam kasus ini, Swifties rela merogoh kocek mereka demi membeli album maupun produk-produk yang dikeluarkan sang ibu.
Selain itu, bukannya tidak mungkin penggemar mengharapkan perasaannya dibalas oleh sang idola di kehidupan nyata. Kenyataan bahwa sang idola, yaitu Taylor senang berinteraksi dengan penggemarnya dan sering kali membagikan cuplikan kehidupan pribadinya di media sosial, membangun persepsi dalam kepala penggemarnya seolah-olah mereka memiliki hubungan dekat dengannya.
Dalam lingkup yang lebih kecil, penggemar mungkin akan menjadikan diri sebagai garda terdepan untuk melindungi idola mereka dari hal-hal yang mereka nilai negatif. Namun, beda ceritanya ketika penggemar justru mengembangkan obsesi terhadap sang idola. Dalam kasus ekstrim, hubungan parasosial yang tidak sehat dapat menyebabkan seseorang terisolasi dari kenyataan, terjebak dalam fantasi tentang idolanya. Hal ini dapat berujung menimbulkan tindak kriminal seperti penguntitan.
Dilansir dari nbcnews.com, seorang pria yang merupakan penggemar obsesif Taylor ditangkap pada 22 Januari 2024 oleh pihak berwajib karena menguntit dan melakukan percobaan untuk memasuki apartemen Taylor di New York selama tiga hari. Kasus tersebut merupakan satu dari sekian banyak kasus yang melibatkan penggemar yang terobsesi dengan Taylor. Seperti yang dikutip dari yahoo.com, terdapat penguntit Taylor pada tahun 2022 yang mengancam untuk menyakiti Taylor apabila Taylor tidak membalas perasaannya.
Pada akhirnya, perlu disadari bahwa membangun dan menampilkan citra yang baik adalah hal yang penting bagi figur publik seperti Taylor Swift. Itulah kenyataannya, tanpa bermaksud mengecap Taylor palsu. Selain kehidupan mereka yang mau tak mau menjadi konsumsi publik, mereka harus menjual produk-produk mereka, seperti album, merchandise, dan lainnya, agar tidak merugi. Oleh karena itu, hubungan parasosial yang dirasakan oleh Swifties nyatanya mendatangkan keuntungan bagi pihak Taylor.
Kendati demikian, hubungan parasosial ini bukan berarti meninggalkan dampak buruk saja bagi Swifties. Apabila hubungan parasosial ini berada dalam kadar yang pas, Swifties dapat merasakan manfaatnya. Dikutip dari everydayhealth.com, hubungan parasosial dapat membantu seseorang—dalam hal ini adalah Swifties—membentuk identitasnya. Hubungan ini pun menyediakan sebuah ruang yang aman dari kemungkinan penolakan saat berada dalam situasi sosial serta ruang aman untuk mengembangkan kepercayaan diri.
Referensi
Bamidele, A. (2024, Januari 23). Taylor swift tracked down by same obsessed fan second time in a week. Yahoo.com. https://www.yahoo.com/entertainment/taylor-swift-tracked-down-same-141500641.html
Forster, R. T. (2023). The oxford handbook of parasocial experiences. Oxford University Press.
Friend or Faux: Are Parasocial Relationships Healthy?. (2023, Juli 5). Cleveland Clinic Health Essentials. Diakses pada 17 Juli 2024. https://health.clevelandclinic.org/parasocial-relationships
Lawler, M. (2023, Februari 17). What Are Parasocial Relationships — and Are They Healthy?. Everyday Health. https://www.everydayhealth.com/emotional-health/what-are-parasocial-relationships-and-are-they-healthy/#:~:text=Aiding%20in%20Identity%20Development%20A,up%20to%2C%E2%80%9D%20Kowert%20says
Smith, P., Dasrath, D., & Cohen, R. (2024, Januari 24). Man charged with stalking after arrests near Taylor Swift’s New York home returns after court hearing, gets arrested again. NBC News. https://www.nbcnews.com/news/us-news/man-charged-stalking-arrested-twice-taylor-swifts-new-york-home-rcna135413
Zafina, N., & Sinha, A. (2024). Celebrity-fan relationship: studying Taylor Swift and Indonesian Swifties’ parasocial relationships on social media. Media Asia, 1–15. https://doi.org/10.1080/01296612.2024.2304422
Editor: Salsabila Azahra