Salsabila Azahra | Eunopia | Sastra Indonesia (2022)
Judul : Senja di Jakarta
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun : 1963
Tebal : 403 Halaman
Puluhan tahun Jakarta menjadi ibukota negara bukanlah waktu yang singkat. Dalam tahun-tahun tersebut pembangunan masif dilakukan untuk ibukota Indonesia tercinta. Jakarta seakan menjadi “wajah” negara ini. Pusat perekonomian dan pemerintahan Indonesia selama puluhan tahun berkumpul di Jakarta. Sepanjang jalan Sudirman—Thamrin disuguhkan pemandangan gedung-gedung tinggi, jalur kendaraan mulus, trotoar lebar dengan penunjuk arah bagi tunanetra, halte bus besar di antara jalur kiri dan kanan, JPO beratap yang nyaman dilewati, dan jalur sepeda. Semua itu merupakan gambaran dari betapa majunya Kota Jakarta dan implementasi dari manusia-manusia modern.
Tentu saja, tamu-tamu kehormatan negara yang mengunjungi Jakarta untuk keperluan apa pun itu dituntun melewati jalan tersebut. Sengaja menyuguhkan panorama kota maju yang jauh dari kata “tertinggal”. Namun, tidak semua wilayah di Jakarta sama dengan Jalan Sudirman—Thamrin. Berbelok sedikit ke arah Galunggung, Halimun, Pasar Rumput, lalu Manggarai, perbedaannya cukup terlihat, padahal jaraknya hanya sekitar 2—5 km. Tidak ada lagi gedung yang mencakar langit, trotoar lebar—untungnya masih ada penunjuk arah untuk tunanetra—bahkan dari segi kebersihannya pun terlihat beda. Panorama yang disajikan adalah perkampungan kumuh yang rumahnya berdempetan, bahkan tidak terjangkau sinar matahari dan rumah-rumah kayu yang didirikan di samping rel kereta maupun pinggiran sungai.
Bukan hanya tampilan fisik, keadaan sosial antarlapisan masyarakat pun terlihat sekali perbedaannya. Semua lapisan masyarakat mulai dari kelas atas, menengah hingga bawah dapat ditemukan dengan mudah di Jakarta. Beragamnya lapisan masyarakat menandakan bahwa ketimpangan sosial di kota ini terbilang tinggi. Di satu sisi seorang pejabat melintas di atas jalanan Kota Jakarta dengan mobil dinas berplat merahnya yang tentu tak pernah mengenal macet karena dikawal oleh polisi beserta sirinenya. Namun, di sisi lain dan masih di kota yang sama—seorang pemulung menarik gerobaknya tanpa alas kaki dan terpaksa berhenti saat mobil iring-iringan pejabat melintas.
Ketimpangan ini paling mencolok dalam segi ekonomi. Namun, bukan berarti dalam aspek lain tidak ada ketimpangan. Justru masalah perekonomian menjadi awal dari munculnya masalah-masalah lain. Oleh karena itu, jika ketimpangan ekonomi di Jakarta terlihat jelas maka ketimpangan lain, seperti pendidikan, kesehatan, dan sosial akan mengikuti di belakangnya. Kualitas pendidikan anak pejabat pasti berbeda dengan pendidikan anak pedagang ataupun pemulung. Anggap saja mereka semua bersekolah atau kuliah di tempat yang sama, tetapi masyarakat kelas atas memiliki privilese-privilese yang tidak dirasakan oleh masyarakat kelas bawah.
Roanne van Voorst, seorang antropolog yang pernah tinggal di perkampungan kumuh di Jakarta membagikan pengalamannya dalam buku Tempat Terbaik di Dunia (2018). Ia tinggal di Bantaran Kali yang rawan terkena banjir. Penggusuran oleh pemerintah pun menjadi ancaman masyarakat yang tinggal di permukiman tersebut karena rumah-rumah dari papan di Bantaran Kali ini terbilang ilegal. Dalam bukunya Voorst memahami keadaan masyarakat sekitar. Ia mematahkan stigma wilayah seperti Bantaran Kali merupakan sarang kriminal.
Kemiskinan yang dirasakan oleh warga Bantaran Kali dan daerah lain yang serupa merupakan masalah struktural yang kompleks. Masalah seperti ini tidak semata-mata terjadi karena malas atau tidaknya seseorang, tetapi memang keadaan turun-temurun yang menjebak individu atau kelompok sehingga tidak bisa keluar dari zona kemiskinan. Tingginya tingkat ketimpangan sosial juga menjadi alasan dari kemiskinan struktural.
Saya pernah melihat sendiri sebuah ketimpangan yang terjadi di kota metropolitan ini. Saat itu sekitar pukul sepuluh malam saya melintasi Markas Polisi Militer di Pasar Rumput. Di sekitar markas tersebut terdapat tulisan Indonesia Maju yang cukup besar dan terlihat menyala walaupun di malam hari. Tulisan itu terkesan memiliki wibawa yang penuh karena berdiri di depan Markas Polisi Militer. Namun, keadaan di lingkungan sekitar menggambarkan hal sebaliknya. Banyak tunawisma yang tidur di trotoar sepanjang markas dengan gerobak yang terparkir di pinggir jalan. Sebuah ironi yang menentang tulisan Indonesia Maju karena masih banyak rakyatnya yang belum sejahtera.
Pembaca yang berasal dari Jakarta atau merasa akrab dengan kota metropolitan ini tidak akan merasa asing saat membaca Senja di Jakarta. Penggambaran Kota Jakarta yang saya sebutkan di atas berdasarkan apa yang saya lihat di tahun 2024, sama seperti Jakarta yang dideskripsikan Mochtar Lubis dalam buku ini tahun 50-an. Entah penulis itu seorang cenayang atau memang keadaan Jakarta yang tidak pernah berubah, bahkan setelah 70 tahun. Namun, tentu saja gedung pencakar langit yang tumbuh di Kota Jakarta tahun 50-an belum memang sebanyak saat ini.
Mochtar Lubis yang tidak memfokuskan plot kepada salah satu tokoh sehingga masing-masing karakter memiliki ceritanya sendiri dan menggambarkan betapa ramainya Kota Jakarta. Mulai dari kuli pengangkut sampah yang mencekik perutnya demi menahan lapar hingga kader partai yang khawatir skandal korupsinya tercium media. Seluruh masyarakat kota atau perantauan memiliki ceritanya masing-masing saat mengadu nasib di ibu kota negara—ataupun mantan—ini.
Editor: Annisa Deli Indriyanti