Dyah Pramesti Purbowati | Eunopia | Sastra Indonesia (2022)
Judul: Guru-Guru Gokil
Tahun Rilis: 2020
Durasi: 101 Menit
Sutradara: Sammaria Simanjuntak
Pemeran: Gading Marteen, Faradina Mufti, Shakira
Gemerlap langit malam, ramainya metropolitan, bisingnya kendaraan atau sekadar suara pembangunan, seakan menjadi hipnotis bagi orang awam yang menyaksikan kehidupan serba gemilang di perkotaan. Memang naif kelihatannya, mempertaruhkan kehidupan pada lingkungan yang tidak pasti untuknmemberikan kesuksesan. Terbuai dengan khayalan yang ditampilkan pada layar kaca yang penuh kebohongan. Ibukota tak seindah perkiraannya, tak semudah perandaiannya, dan tak seterjamin kedengarannya. Ibukota hanyalah tempat bising nan ramai yang penuh dengan kebusukan dengan terbalut indahnya cahaya malam metropolitan.
Film berjudul Guru-Guru Gokil (2020) menceritakan tentang kehidupan seorang laki-laki bernama Taat Pribadi yang diperankan oleh Gading Marten. Dalam film tersebut, Taat menjadi salah satu orang yang mempercayai bahwasanya ibu kota akan menjadi kuncinya untuk meraih kesuksesan di dalam kehidupan. Melarikan diri dari pedesaan yang hanya berisi hal yang itu-itu saja, ia pergi meninggalkan kampung halamannya. Hanya saja kenyataan yang menghampirinya tak seindah apa yang ia angankan. Memiliki kehidupan yang jauh lebih buruk dari sebelumnya, membuatnya tersadar, bahwa kehidupan ibu kota tak seindah khayalannya.
Mencari lebih dari satu sumber pemasukan sudah menjadi rutinitasnya. Paginya menjadi pemandu acara di acara pernikahan, siangnya menjadi tukang sulap keliling, atau bahkan di malam hari ia rela menjadi tukang cuci piring di sebuah rumah makan. Semua ia lakukan agar dirinya tidak perlu kembali ke kampung halamannya. Namun, pada akhirnya semua angan-angan dan semua kerja kerasnya seakan mencapai jalan buntu. Ia tetap tidak mendapatkan pendapatan pasti, tetap tidak menentukan jenis makanan yang pasti akan ia makan, atau tidak mendapatkan kepastian mengenai di mana dirinya akan tidur nanti malam. Ibukota menjadi sebuah ketidakpastian yang harus ia hadapi setiap harinya. Pada akhirnya, ia menyerah dengan ketidakpastian yang dihadiri ibukota dan kembali ke kampung halaman tanpa membawa pundi-pundi uang dan hanya menyisakan harapan yang mungkin akan terkubur seiring waktu berjalan.
Memikirkan tentang mimpi, semua orang tentu bermimpi untuk menjadi sukses dan memiliki banyak uang. Akan tetapi, apakah menjadi sukses dan memiliki banyak uang itu hanya dapat terjadi di ibu kota? Apakah kehidupan memang akan lebih baik jika berangkat ke ibu kota? Memang mengapa jika itu bukan ibu kota? Bukankah semua orang berhak untuk mencapai kesuksesannya? Jadi, gambaran orang sukses di ibukota itu seperti apa? Bekerja di gedung tinggi dengan membawa kendaraan pribadi? Atau berfoya-foya seperti yang sering ditampilkan dan disaksikan di layar televisi?
Harapan-harapan yang dihadirkan dari pemikiran tanpa dasar mengenai kota metropolitan itu menjadi tekanan tersendiri bagi seseorang. Berharap akan menjadi sukses dengan bermodalkan keyakinan kosong, tanpa mengetahui dengan pasti persaingan kotor dari masyarakat kota. Hal tersebut dapat menjadi awal dari kehancuran yang akan segera ditimpanya. Dikutip dari Kompas.com bahwasanya pada tahun 2020 silam, jumlah pendatang dari luar kota menuju kota Jakarta sebanyak 112.814 orang. Kemudian, pada tahun 2021, jumlah tersebut meningkat sebanyak 18,55% menjadi 139.740 orang. Di tahun berikutnya, pemerintah provinsi DKI Jakarta kembali mencatat kenaikan jumlah pendatang sebanyak 7,2% menjadi 151.752 orang. Hal tersebut menandakan banyaknya orang yang masih mempercayai kesuksesan yang akan diraihnya dengan datang ke ibukota, persis seperti yang dilakukan oleh tokoh Taat dalam film Guru-Guru Gokil.
Sejalan dengan hal tersebut, buku novel berjudul O (2016) karya Eka Kurniawan juga menceritakan banyak seluk beluk kebengisan manusia ibukota yang mungkin jarang diketahui oleh orang awam. Tipuan manis ibu kota juga berhasil membodohi Ma Kungkung—seorang wanita paruh baya dari tanah Jawa—yang rela meninggalkan tempat tinggalnya demi mencari uang di tengah sibuknya ibukota. Berbekal kepercayaan pada tetangganya, ia pergi ke ibukota dengan menaiki bus antarkota. Namun, nasib sial menimpanya, mereka terpisah dan menyisakan sebuah tragedi malang untuk Ma Kungkung. Merasa malu dan putus asa, ia memutuskan untuk menetap di Jakarta sebagai seorang pemulung.
Ibukota memang indah kelihatannya, begitulah yang semua orang lukiskan di layar kaca, atau bahkan dituliskan dalam sebuah lembar kata. Hanya saja, di balik cahaya keindahan yang ditawarkan ibukota, tentu juga terdapat sisi gelap yang tercipta dari bayang-bayangnya. Kemiskinan yang merajalela, udara yang jauh dari kata sehat, bunyi bising kendaraan proyek, atau bahkan kejahatan yang mengancam setiap langkah seseorang, menjadi tanda bahwasanya ibukota tidak untuk semua orang. Lantas, menjadi pertanyaan besar mengapa masih banyak orang yang memilih untuk mempertaruhkan hidupnya di ibukota? Menjawab pertanyaan ‘mengapa’, pasti ada sebuah alasan yang mendasarinya. Dari pertanyaan tersebut, ketimpangan ekonomilah jawabannya.
Dalam film Guru-Guru Gokil ini menjelaskan bahwasanya hidup di kampung halaman tak selamanya menjadi hal yang memalukan. Melakukan hal yang itu-itu saja lebih menyenangkan ketimbang hidup di atas ketidakpastian yang dihadirkan metropolitan. Taat menikmati pekerjaannya menjadi guru sejarah di sebuah sekolah di kampung halamannya, ketimbang hidup tak pasti di ibukota. Pada akhirnya, bukan di mana tempat yang menentukan kesuksesan kita, hanya saja apa yang kita lakukan sekarang menjadi kunci kesuksesan yang sebenarnya.
Editor: Annisa Deli Indriyanti