Address
Jl. Rawamangun Muka, Pulo Gadung, Jakarta Timur, DKI Jakarta – 13220
Phone

Keadilan Sosial Bagi Mereka yang Berkuasa


Fritz Andrew Lie | Arutala | Psikologi (2022)

Judul Joko Anwar’s Nightmares and Daydreams

Tahun rilis 2024

Genre Fiksi Ilmiah, Supernatural, Horor

Kreator : Joko Anwar

Total Episode 7

Mirisnya menjadi rakyat Negara Wakanda (ucap warganet untuk menyebut Indonesia). Kita yang memberikan takhta dan menggantungkan nasib kita pada mereka, tetapi kita juga yang merana karena keputusan-keputusan mereka yang terkadang berada di luar nalar. Mungkin, mereka hanya ingin membuktikan perkataan Philip Zimbardo bahwa kita manusia merupakan makhluk yang lemah terhadap singgasana kekuasaan, makhluk yang mampu melampaui iblis demi mempertahankan posisinya di puncak  atau mungkin, mereka melakukan semua hal di luar nalar itu karena mereka memang bukanlah dari dunia ini.

 Joko Anwar’s Nightmares and Daydreams (2024), sebuah serial televisi yang dirilis pada 14 Juni 2024 di Netflix ini mengusung genre fiksi ilmiah dan supernatural. Kita akan diajak untuk mengarungi semesta dari tokoh-tokoh yang menduduki kelas ekonomi menengah ke bawah pun mengalami kemalangan akibat mereka yang duduk di puncak hierarki pemerintahan. Pada akhirnya, diketahui bahwa kursi pemerintahan telah diinfiltrasi oleh makhluk-makhluk yang berasal dari inti bumi, Agarthan.

Banyak tokoh yang menampilkan peran yang berkaitan dengan berbagai perkara hidup yang begitu lekat dengan realitas kita, seperti kemiskinan, sandwich generation, dan khususnya ketidakadilan. Seperti yang terjadi pada episode 4 yang bertajuk “Encounter”, tokoh Wahyu yang diperankan oleh Lukman Sardi mesti menghadapi kenyataan pahit karena kampungnya yang terancam digusur untuk pembangunan hotel. Api perlawanan dinyalakan oleh warga-warga kampungnya, semakin membara begitu pihak berwajib terlibat. Penderitaan yang dialami Wahyu dan warga-warga kampungnya bisa dibilang disebabkan oleh orang-orang kasta tinggi yang memiliki kepentingan pribadi.

Keterlibatan orang-orang seperti itu semakin jelas terlihat pada episode 3 yang bertajuk “Poems and Pain” dan episode 7 yang bertajuk “PO Box”. Pada episode 3, tokoh Adrian (Haydar Salishz) yang merupakan seorang pejabat tinggi di kementerian dan seorang Agarthan berhasil lepas dari tuduhan menyandera saudari kembar Rania (Marissa Anita) lantaran menghilangkan semua bukti kejahatannya. Sementara pada episode 7, ditunjukkan bahwa orang-orang berkedudukan tinggi diam-diam menipu dan menculik orang-orang biasa untuk mereka jadikan “santapan”. Kembali lagi, serial ini menunjukkan bagaimana orang-orang berkedudukan tinggi menggunakan kuasa yang mereka miliki untuk kepentingan pribadi, merugikan orang-orang yang berkedudukan di bawah mereka.

Kenyataannya para petinggi di dunia memang banyak yang bergelagat seperti bukan manusia. Tidak sulit untuk menemukan berita terkait orang-orang tersebut serta aparat penegak hukum yang terlibat dalam kasus-kasus seperti korupsi, perjudian, narkoba, sampai pembunuhan berencana. Namun, vonis hukuman yang mereka dapatkan entah kenapa tergolong ringan dibandingkan perbuatan mereka. Kita pun tidak jarang ditampar dengan berita-berita yang menunjukkan mereka dimasukkan ke dalam ruang sel yang mewah.

Di lain kejadian, selalu ada saja berita tentang mereka yang menduduki kelas menengah ke bawah yang dijatuhi hukuman pidana bertahun-tahun dan sanksi berupa denda yang nominalnya tidak setara dengan penghasilannya. Perbedaan hukuman antara orang-orang kelas menengah ke atas dengan orang-orang kelas menengah ke bawah adalah sebuah bukti bahwa sila kelima Pancasila yang dicetuskan oleh Bapak Proklamator adalah hiasan semata, bukan ideologi bangsa. Pemerintah rasanya juga tidak bisa berbuat banyak jika hal ini menimpa mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah.

Penggambaran ketidakadilan dan penguasa yang sewenang-wenang juga dapat ditemukan pada novel The Innocent (2023) yang ditulis oleh Arexass. Dalam novel tersebut, tokoh Raka Pramudya terjerat tuduhan sebagai tersangka utama pembunuhan seorang ketua partai politik, enam bulan sebelum pemilu. Hal ini membuat Exintent, organisasi mata-mata yang menaungi Raka, berusaha menyembunyikan Raka dan menyelidiki kebenaran di balik tuduhan yang menimpa agen mereka. Namun, bukan untuk menegakkan keadilan, mereka melakukannya semata-mata agar keberadaan organisasi tidak terbongkar ke publik.

Usut demi usut, Raka ternyata hanyalah kambing hitam untuk sebuah konspirasi yang melibatkan orang-orang yang berada di kursi pemerintahan. Konspirasi busuk untuk memperoleh ambisi, meski harus menghabisi nyawa lawan dan menjadikan orang tidak bersalah sebagai tameng. Tidak hanya itu, Exintent pun memiliki kebusukannya tersendiri. “Habis manis, sepah dibuang.” Mungkin, peribahasa tersebutlah yang cocok menggambarkan apa yang dilakukan Exintent terhadap Raka.

Baik Joko Anwar’s Nightmares and Daydreams (2024) maupun The Innocent (2024), kedua karya tersebut memiliki sebuah benang merah yang menarik. Kebusukan yang dilakukan oleh para Agarthan dan pihak-pihak yang menjebak Raka, semuanya berada di bawah radar publik. Sebagaimana yang terjadi di realitas kita, besar kemungkinan kita tidak akan pernah mengetahui segala tindak kriminal yang dilakukan oleh orang-orang sejenis mereka apabila tidak dikuak dan disiarkan di berbagai media.

Adanya pepatah “No Viral, No Justice” membuat situasi ini semakin miris. Tidak jarang kita melihat pepatah tersebut digaungkan oleh warganet di media sosial sebagai tanggapan atas kelambatan dan ketidaksigapan pihak berwenang dalam menangani suatu kasus, terlebih kasus yang dialami oleh rakyat biasa. Diperlukan aduan melalui unggahan di media sosial untuk diramaikan oleh warganet dan mendesak pihak berwenang untuk segera mengambil tindakan. Andai kata tidak dikawal warganet, tidak menutup kemungkinan kasus-kasus tersebut tidak diusut tuntas sampai tenggelam seolah tidak pernah terjadi.

Fakta bahwa konsep keadilan di Negara Wakanda tercinta ini masih memerlukan banyak perbaikan dan perhatian rasanya sudah seperti makanan sehari-hari. Membuang napas jengah dan memutar bola mata saat menggulir lini masa media sosial dan melihat berita penanganan kasus yang sarat ketidakadilan sudah seperti rutinitas sehari-hari. Pun kita pernah sekali-sekali menemukan karya-karya dalam berbagai bentuk yang menelanjangi dan mengecam kebobrokan ini secara halus maupun frontal.

Uang lebih dan jabatan tinggi, mereka yang mempunyai kedua hal itu nyatanya mendapatkan porsi keadilan yang lebih banyak daripada mereka yang tidak. Meski demikian, sebagaimana tetesan air mampu melubangi batu yang keras, sebuah tindakan kecil yang dilakukan secara terus-menerus tanpa pamrih mampu mendatangkan ombak besar perubahan. Tidak perlu terlibat langsung dalam proses penegakan keadilan, semudah membuka pikiran dan mengawal perkembangan kasus ketidakadilan merupakan langkah bayi yang penting dan tidak bisa diremehkan dalam perlawanan terhadap para Agarthan dunia nyata.

Referensi:

Arexass. (2023). The Innocent. Bondowoso: Stora Media.

Fachri, F. K. (2023, Juli 12). Kasus Nenek Minah, Pembuka Fenomena Penerapan Restorative Justice. Hukumonline.com. Diakses pada 27 Juli 2024. https://www.hukumonline.com/berita/a/kasus-nenek-minah–pembuka-fenomena-penerapan-restorative-justice-lt64ad8fa40c796/#!

Editor: Annisa Deli Indriyanti