Ajeng Septia Ningsih | Arutala | Sastra Indonesia (2023)
Judul Film : The Black Phone
Tahun Rilis : 2022
Genre : Horor, thriller, misteri
Sutradara : Scott Derrickson
Durasi : 1 jam 42 menit
Anak-anak bagaikan tunas pohon yang masih memiliki jiwa yang rapuh, maka sudah sepantasnya mereka mendapatkan perlindungan yang sedikit lebih ketat daripada orang dewasa. Kurangnya pengalaman membuat mereka menjadi mudah hilang arah, pun mudah diperdaya. Sayangnya, beberapa anak tidak mendapatkan hak tersebut dan malah disakiti oleh para orang dewasa. Sama seperti dalam film ini yang mengusung tema penculikan anak, peran seorang anak menjadi krusial sebab banyak kasus membuat psikologis mereka mudah terganggu.
Physical Abuse atau kekerasan fisik pada anak sangat berpengaruh terhadap kondisi mental dan perilaku anak-anak. Perlakuan kasar yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak akan meninggalkan dampak, baik secara fisik ataupun mental. Anak yang mengalami kekerasan dan penelantaran menunjukkan kecenderungan untuk mengalami beberapa kendala dalam kegiatannya sehari-hari, seperti kesusahan dalam pelajaran, kesulitan untuk menjalin hubungan dan keterikatan pada orang di sekitarnya, gangguan kognitif, perkembangan yang lambat, mengalami masalah mental—seperti depresi, gangguan kecemasan, PTSD, bahkan hingga menunjukkan tendensi untuk menyakiti diri sendiri, dan juga permasalahan penggunaan obat-obatan terlarang. Kekerasan fisik menjadi suatu hal yang sangat penting untuk dihindari dan diberikan perhatian lebih agar tidak ada anak-anak yang mengalami kekerasan fisik lagi baik dari orang tuanya atau orang dewasa lainnya. Hal tersebut tampak pada film The Black Phone (2022) yang mengusung salah satu tema tentang kekerasan fisik terhadap anak.
Memiliki orang tua yang temperamental, sering menyiksa, memukuli, atau memaksa anak untuk menuruti semua keinginannya termasuk salah satu perilaku kekerasan terhadap anak. Lebih jauh lagi, peran anak yang tertindas oleh orang dewasa juga dapat berefek fatal pada anak seperti munculnya sifat antisosial, kurang percaya diri, dan masih banyak lagi. Dalam film ini, fenomena tersebut dapat dilihat dari tokoh Finney yang diperankan oleh Mason Thames. Finney merupakan anak yang sering dirundung di sekolah, sekaligus pada akhirnya mengalami penculikan oleh pria bertopeng.
Nuansa horor, thriller, dan misteri yang terdapat dalam durasi 1 jam 42 menit dalam ini berhasil membuat penontonnya bergidik ngeri dan tercengang. Ditambah lagi, Finney yang mengalami masalah setelah ia diculik oleh seorang pria misterius juga menambah ketegangan yang diciptakan oleh film tersebut. Di sisi lain, perilaku kekerasan fisik juga terjadi sehingga menimbulkan perasaan putus asa pada sang tokoh utama yang notabenenya masih anak-anak. Mengalami penyiksaan tentu bukanlah sesuatu yang diharapkan anak-anak sebelum mereka dilahirkan ke dunia. Namun, akibat dari kurangnya ilmu parenting pada orang tua atau orang dewasa membuat beberapa anak merasakan derita yang seharusnya tidak mereka rasakan.
Dalam film ini, penonton diajak untuk menyaksikan kasus yang berat dalam perspektif seorang anak. Mereka yang seharusnya masih memerlukan bimbingan dipaksa untuk berpikir dewasa untuk memecahkan dari masalah yang ia hadapi. Anak-anak dalam film ini yang menjadi korban pun mengalami luka batin yang lantas membuat kepribadian mereka mengalami perubahan. Sama seperti dalam novel berjudul Teka-teki Rumah Aneh (2023), anak-anak juga menjadi pihak yang tertindas oleh orang dewasa. Pemikiran orang dewasa yang kompleks dan tak jarang hanya berfokus pada duniawi membuat peran anak-anak tersebut menjadi terpinggirkan. Hak-hak mereka untuk hidup bebas terancam, kebahagiaan mereka untuk bermain dengan lepas pun direnggut. Buku itu memiliki kesamaan yang cukup signifikan kalau membahas tentang perspektif seorang anak yang berhati hampa disaat seharusnya mereka hanya merasakan perasaan bahagia di masa kecilnya.
The Black Phone, seperti pada judulnya, memiliki banyak makna tersirat di balik telepon hitamnya. Konsentrasi penonton diuji dalam film ini jika tidak mau kehilangan maksud dari alur yang sudah terancang. Di beberapa titik, film ini juga mengandung adegan kekerasan yang membuat rentang usia anak-anak tidak cocok untuk menjadi penontonnya walaupun tokoh utama dalam film ini merupakan anak-anak.
Anomali sang pria bertopeng yang suka menculik anak-anak tak kalah seru untuk dibahas. Namun, terlepas dari itu, sutradara lebih memilih menyorot kamera dari sisi anak-anak untuk tahu betapa alur dan efeknya akan sangat berbeda bila menggunakan perspektif seseorang yang belum dewasa. Sangat tragis karena pada realita kita pun masih banyak anak-anak yang masih belum bisa mendapatkan haknya sebagai “anak-anak”. Kebahagiaan mereka seolah sesuatu yang hanya bisa didapatkan dengan cara dibayar mahal.
Referensi:
Uketsu. (2023). Teka-teki Rumah Aneh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fahmi, Avisca Shaliza., & Kurniawan, A. (2022). Pengaruh Pengalaman Traumatis Berupa Perilaku Abusive Orangtua Kepada Anak Terhadap Psychological Well-Being. Berajah Journal: Jurnal Pembelajaran dan Pengembangan diri, 2(2), 1-12.
Editor: Annisa Deli Indriyanti